Konten Estetik Vs. Relatabel: Mana yang Bikin Netizen Indonesia Langsung "Klik"?

ardipedia.com – Tahun ini media sosial bukan cuma tempat buat pamer foto atau berbagi status. Dia udah jadi panggung besar bagi para kreator, pelaku usaha, dan brand buat narik perhatian audiens. Setiap kali kita ngebuka Instagram, TikTok, atau Threads, kita disuguhi jutaan konten yang saingan rebutan perhatian. Dari video yang visualnya memukau banget sampai curhatan jujur yang direkam seadanya di kamar tidur.

Fenomena ini bikin kita bertanya-tanya, mana sih yang sebenarnya lebih disukai audiens Indonesia? Konten yang estetik, rapi, dan sempurna secara visual, atau konten yang relatabel, jujur, dan terasa "gue banget"? Sebagian orang mungkin mati-matian bikin konten dengan kualitas produksi tinggi, editan profesional, dan pencahayaan sempurna. Sementara yang lain justru viral dengan video seadanya yang nyeritain pengalaman sehari-hari yang bikin orang ngakak atau terharu.

Memahami preferensi audiens Indonesia itu penting banget. Ini bukan cuma soal tren, tapi juga tentang gimana kamu bisa ngebangun koneksi yang lebih dalam, ningkatin interaksi, dan akhirnya, capai tujuanmu di media sosial. Karena, kalau kamu salah fokus, semua usahamu dalam bikin konten bisa jadi sia-sia, alias nggak nyampe ke hati audiens.

Artikel ini bakal ngupas tuntas perdebatan antara konten relatabel dan estetik di konteks audiens Indonesia. Kita bakal nyelamin kenapa kedua jenis konten ini punya daya tariknya masing-masing, faktor apa aja yang ngaruh ke preferensi netizen, dan yang paling penting, gimana kamu bisa nemuin keseimbangan yang pas buat strategi kontenmu. Ini bukan sekadar panduan teknis, tapi resep ampuh buat naklukin hati audiens di era digital ini. Yuk, kita mulai!

Konten Estetik itu, Pesona Visual dan Profesionalisme

Konten estetik adalah jenis konten yang ngutamain banget kualitas visual dan audio, desain yang menarik, penyajian yang rapi, dan tampilan keseluruhan yang indah atau profesional. Tujuannya buat manjain mata, ngasih kesan profesional, dan seringnya bikin orang punya aspirasi.

Ciri-ciri konten estetik itu punya visual yang memukau dengan pencahayaan sempurna, komposisi artistik, dan warna yang konsisten. Kualitas produksinya tinggi, pakai kamera profesional, lighting studio, dan editing yang halus. Tampilannya rapi dan terorganisir. Konten ini seringnya berbasis aspirasi, kayak nampilin gaya hidup mewah, produk premium, atau tempat-tempat indah. Fokusnya di kesempurnaan, jadi jarang banget nunjukin kekurangan atau sisi "mentah".

Kenapa konten estetik menarik? Karena otak kita secara alami tertarik sama hal-hal yang indah dan rapi. Konten estetik ngasih pengalaman visual yang enak dilihat. Buat brand atau individu, konten estetik bisa bangun citra profesional, berkualitas, dan kredibel. Ini penting buat bisnis yang jualan produk premium. Audiens juga sering terinspirasi sama gaya hidup yang terlihat sempurna. Dan yang paling penting, visual yang bagus bisa jadi hook pertama yang bikin orang berhenti scrolling dan merhatiin kontenmu. Konten yang indah juga berpotensi tinggi di-share karena dianggap layak dilihat orang lain.

Konten Relatabel itu, Kekuatan Kejujuran dan Koneksi Emosional

Konten relatabel adalah jenis konten yang nyorotin pengalaman, emosi, atau situasi sehari-hari yang gampang banget bikin audiens bilang "ini aku banget!". Tujuannya buat ngebangun koneksi emosional, nunjukin keaslian, dan memicu rasa kebersamaan.

Ciri-ciri konten relatabel itu jujur dan autentik. Seringnya direkam pakai HP seadanya, tanpa editing berlebihan, dan nunjukin sisi "mentah" atau nggak sempurna dari hidup. Konten ini nyorotin pengalaman sehari-hari kayak konflik kecil, pikiran acak, atau momen lucu. Fokusnya di emosi, bikin orang ketawa, haru, simpati, atau ngerasa "ini gue banget!". Bahasanya juga akrab, pakai bahasa sehari-hari, slang lokal, atau gaya bicara yang santai. Yang paling penting, konten ini punya narasi atau cerita, meskipun sederhana. Nggak terlalu peduli sama estetika, yang penting pesannya nyampe.

Kenapa konten relatabel menarik? Karena dia ngebangun koneksi emosional yang mendalam. Ketika audiens ngerasa "ini aku banget!", mereka ngerasa dipahami, nggak sendirian, dan terhubung secara emosional sama kreatornya. Konten relatabel juga ningkatin interaksi banget. Dia memicu banyak komentar ("iya banget!", "sama kayak aku!"), share ke teman-teman, dan percakapan. Ini sangat disukai algoritma. Audiens jadi percaya sama kreator yang jujur dan apa adanya, nggak pura-pura sempurna. Ini ngebangun loyalitas jangka panjang. Seringkali, video relatabel dengan produksi seadanya justru bisa viral karena pesan atau emosinya kuat banget dan gampang menyebar. Konten ini juga ngurangin tekanan, baik buat kreator maupun audiens, karena nunjukin kalau hidup itu nggak harus sempurna.

Terus Mana yang Lebih Disukai?

Netizen Indonesia itu unik. Mereka punya karakteristik yang bikin kedua jenis konten ini bisa sama-sama sukses, tapi dengan tujuan dan dampak yang beda.

Di satu sisi, dominasi visual (estetika) itu kuat banget. Indonesia punya pengguna Instagram dan TikTok yang masif, di mana visual jadi dominan. Konten estetik punya daya tarik awal yang kuat buat bikin orang berhenti scrolling. Kita suka lihat hal yang indah, rapi, dan inspiratif. Ini berlaku buat brand fashion, kuliner, pariwisata, atau produk gaya hidup.

Di sisi lain, kolektivisme dan kebutuhan koneksi (relatabilitas) juga gede. Budaya kolektivisme yang kuat di Indonesia bikin kita ngehargain banget koneksi, kebersamaan, dan interaksi. Konten yang memicu empati, tawa bareng, atau ngerasa "ini aku banget" sangat dicintai. Netizen Indonesia juga aktif banget komentar dan share.

Jadi, mana yang lebih disukai? Jawabannya adalah keduanya punya tempatnya sendiri. Konten yang paling sukses seringnya adalah yang bisa ngegabungin elemen dari keduanya.

Buat jangkauan awal dan citra profesional, konten estetik itu penting. Dia narik perhatian pertama, bangun kesan kredibel, dan bikin profilmu kelihatan menarik. Tapi buat interaksi mendalam, ngebangun komunitas, dan viralitas organik, konten relatabel punya kekuatan luar biasa. Dia memicu percakapan, share, dan koneksi emosional yang kuat.

Faktor kunci buat audiens Indonesia: Relatability seringkali ngalahin kesempurnaan. Netizen Indonesia cenderung lebih maafin kualitas visual yang nggak sempurna kalau pesan atau emosinya sangat relatabel. Komentar adalah raja. Konten yang memancing banyak komentar itu yang paling disukai algoritma dan netizen Indonesia. Konten relatabel jago banget soal ini. Edukasi dan solusi juga disukai. Konten yang ngasih nilai (tips, trik, edukasi) sangat disukai. Kalau disajiin secara estetik bagus, tapi kalau disajiin secara relatabel, interaksinya bakal lebih banyak. Di tengah konten yang terlalu sempurna, audiens Indonesia nyari influencer atau kreator yang lebih "manusiawi" dan jujur, yang nunjukin sisi nggak sempurna dari hidup.


 

Keseimbangan Adalah 'Koentji'

Strategi terbaik di tahun ini adalah nyari keseimbangan yang pas antara konten estetik dan relatabel.

Buat brand atau bisnis, kamu bisa utamain estetika buat produk/layananmu. Buat feed utama atau halaman produk, pertahankan visual yang estetik dan profesional. Tapi sisipkan relatability di Story atau Reels. Pakai Story atau Reels buat konten behind the scene, curhatan jujur soal tantangan bisnis, atau testimoni pelanggan yang relatabel. Ini bisa jadi jembatan buat nunjukin sisi manusiawi brand-mu. Pakai juga bahasa yang akrab di caption.

Buat kreator konten atau personal brand, kamu harus nentuin persona utamamu. Apakah kamu pengin dikenal sebagai kreator estetik atau relatabel? Kalau estetik, fokus visual yang memukau, tapi tetap sisipin caption yang personal atau story yang nunjukin sisi relatable-mu. Kalau persona relatabel, utamain kejujuran, emosi, dan narasi yang kuat. Nggak usah terlalu khawatir sama kualitas produksi yang sempurna.

Strategi konten buat viralitas itu seringnya adalah gabungan visual yang cukup menarik dengan pesan atau emosi yang sangat relatabel. Fokus di hook di awal, storytelling yang kuat, sound yang lagi tren, dan call-to-action yang memancing interaksi.

Kesalahan yang harus dihindari: terlalu fokus ke estetika sampai lupa relatability, terlalu mentah sampai nggak profesional (khususnya buat bisnis), meniru tanpa ngertiin konteks, ngabaikan kualitas audio, dan nggak mau interaksi.

Kesimpulannya,

Audiens Indonesia di media sosial itu konsumen konten yang cerdas dan kompleks. Mereka nggak cuma nyari keindahan visual, tapi juga koneksi emosional yang tulus. Perdebatan antara konten estetik dan relatabel nggak ada pemenang mutlak; sebaliknya, keseimbangan adalah kunci utama buat sukses.

Konten estetik berfungsi sebagai daya tarik awal, bangun citra profesional, dan manjain mata. Tapi, konten relatabel itu yang mampu nyentuh hati, memicu interaksi mendalam, ngebangun komunitas yang loyal, dan seringnya, jadi pendorong utama viralitas.

Pebisnis dan kreator konten harus bisa ngertiin siapa audiens mereka, apa yang pengin mereka rasain dan lihat, terus sesuaikan strategi kontennya. Jangan takut buat nunjukin sisi manusiawi dari brand atau dirimu, bahkan kalau itu berarti sedikit ngesampingin kesempurnaan visual. Karena pada akhirnya, di tengah lautan konten yang serba indah, cerita jujur yang bisa bikin orang bilang "ini gue banget!" lah yang bakal selalu diinget dan dirayain sama netizen Indonesia. Mari kita berkreasi dengan hati dan mata yang terbuka!

 

image source : Unsplash, Inc.  

 

Gas komen di bawah! Santai aja, semua komentar bakal kita moderasi biar tetap asyik dan nyaman buat semua!

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال