ardipedia.com – Teknologi sekarang ini udah ngelampauin batas yang pernah kita bayangin. Salah satu inovasi yang paling keren, tapi juga paling kontroversial, adalah deepfake. Dia bisa bikin gambar, suara, dan video yang super realistis, saking realisitisnya sampai susah dibedain sama yang asli. Di satu sisi, ini janjikan kreativitas tanpa batas dan efisiensi yang belum pernah ada. Tapi di sisi lain, dia juga bawa banyak risiko dan dilema etika, terutama pas dipakai di konten komersial.
Bayangin, ada iklan di mana artis legendaris yang udah meninggal "muncul" lagi buat promosiin produk baru. Atau, ada brand yang bisa bikin iklan cuma sekali, terus pakai deepfake buat ganti aktornya biar kelihatan kayak orang lokal yang ngomong lancar dalam berbagai bahasa dan aksen, tanpa perlu syuting ulang. Potensi deepfake di dunia bisnis, kayak pemasaran dan iklan, emang ngiler banget. Dia nawarin fleksibilitas visual yang nggak ada duanya, bikin brand bisa nembus batasan realitas, biaya, dan waktu.
Tapi, di balik semua kilauannya itu, deepfake itu kayak pedang bermata dua. Teknologi ini, yang dasarnya bikin ilusi, bisa dengan gampang ngerusak kepercayaan publik, ngelanggar hak-hak individu, dan bahkan ngundang masalah hukum yang serius kalau nggak ditangani dengan hati-hati banget. Pertanyaan-pertanyaan kayak soal keaslian, persetujuan, dan dampak jangka panjangnya jadi sangat penting.
Kita bakal bahas potensi penggunaannya di konten komersial, dan yang paling penting, nyelamin berbagai risiko dan pertimbangan etika yang harus dihadapi sama setiap brand atau marketer yang mau pakai teknologi ini. Kita bakal ngobrolin kenapa transparansi, persetujuan yang jelas, dan tanggung jawab itu jadi kunci buat ngadepin dunia deepfake yang rumit di tahun ini.
Pahami Deepfake, yaitu Ilusi yang Dibuat Sama AI
Gampangnya, deepfake itu media sintetis—gambar, suara, atau video—yang dimanipulasi pakai kecerdasan buatan (AI), khususnya teknik deep learning. Tujuannya buat ganti atau manipulasi wajah, suara, atau tindakan seseorang biar kelihatan meyakinkan banget, jadi hasilnya kayak asli dan susah dibedain.
Istilah "deepfake" sendiri gabungan dari "deep learning" dan "fake" (palsu). Teknologi ini kerja dengan ngelatih model AI, biasanya Generative Adversarial Networks (GANs), pakai data yang banyak (gambar dan video) dari orang yang mau dimanipulasi (target) dan orang yang mau diganti (sumber). AI-nya terus belajar fitur wajah, ekspresi, dan suara target, terus nerapinnya ke sumber.
Gimana sih deepfake kerja secara fundamental? Pertama, dia butuh pengumpulan data yang banyak banget. Buat ganti wajah di iklan, dia bakal dilatih pakai ratusan sampai ribuan gambar dan video dari aktor di iklan dan selebriti yang wajahnya mau dipakai. Terus, ada pelatihan model AI yang kerjanya gabungin dua jaringan saraf. Jaringan yang satu (Generator) bertugas bikin gambar palsu, dan jaringan yang lain (Diskriminator) bertugas bedain mana yang asli dan mana yang palsu. Mereka terus "bersaing" sampai si Generator makin jago bikin konten yang realistis. Setelah dilatih, model AI bisa ganti wajah, niru gerakan bibir, kloning suara, atau manipulasi ekspresi wajah seseorang. Seiring AI makin maju, kualitas deepfake juga makin tinggi, dan alat buat bikinnya makin gampang diakses.
Potensi Deepfake di Konten Komersial
Di dunia bisnis dan pemasaran, deepfake janjikan banyak peluang menarik yang bisa ngubah total cara produksi konten:
Iklan yang Personal dan Lokal: Brand global bisa bikin satu iklan, terus pakai deepfake buat ngubah aktornya jadi kelihatan kayak orang lokal dengan berbagai etnis, atau bikin mereka ngomong dalam berbagai bahasa dan aksen. Ini hemat biaya banget. Secara teori, deepfake juga bisa dipakai buat nampilin produk yang disesuaikan sama selera individu.
Libatin Selebriti dan Influencer Jadi Lebih Gampang: deepfake bikin brand bisa ngidupin lagi selebriti yang udah meninggal buat iklan (tentunya dengan persetujuan ahli waris). Atau pakai rekaman lama buat bikin konten baru tanpa perlu syuting fisik. Jadwal syuting juga jadi lebih fleksibel, tinggal rekam suara atau gerakan aktor pengganti, terus pasang wajah selebritinya.
Produksi Konten yang Efisien dan Murah: Deepfake bisa ngurangin biaya produksi karena nggak perlu syuting di lokasi yang mahal atau nyewa banyak aktor. Perubahan kecil di naskah atau visual juga bisa dilakuin pasca-produksi.
Hiburan dan Cerita Inovatif: Di film, deepfake bisa dipakai buat bikin aktor kelihatan lebih muda (de-aging), ganti wajah stuntman, atau ngisi kekosongan kalau ada aktor yang nggak bisa syuting.
Semua potensi ini nunjukin daya tarik deepfake buat bikin pengalaman yang lebih imersif, personal, dan efisien. Tapi, potensi ini datang sama tanggung jawab besar dan banyak risiko yang harus dikelola.
Ini Dia Risiko Gede Menggunakan Deepfake di Konten Komersial
Potensi deepfake yang gede itu sebanding sama risikonya. Kalau dipakai di konten komersial, di mana reputasi brand jadi taruhan, risikonya signifikan banget:
Kehilangan Kepercayaan Publik: Publik sekarang makin skeptis sama konten online. Kalau sebuah brand pakai deepfake tanpa transparan, itu bisa dianggap nipu. Konsumen bisa ngerasa dikhianati atau dimanipulasi, yang akhirnya ngerusak kepercayaan ke brand. Kepercayaan itu kalau udah hilang, susah banget buat didapetin lagi.
Masalah Hukum dan Hak Cipta: Pakai wajah, suara, atau penampilan seseorang tanpa persetujuan itu ngelanggar hak cipta dan hak publikasi mereka. Ini bisa berujung ke tuntutan hukum yang mahal. Terus, status hukum hak cipta buat konten yang dibikin sama AI juga masih abu-abu. Siapa yang punya konten deepfake kalau AI yang bikin?
Kekhawatiran Privasi dan Persetujuan: Ngadepin persetujuan yang benar-benar "jelas" dari individu buat pakai citra mereka di deepfake itu rumit banget. Apakah mereka beneran ngerti gimana citra mereka bakal dimanipulasi atau dipakai ke depannya? Dan kalau deepfake dipakai buat "ngidupin" lagi orang yang udah meninggal, ini nimbulin pertanyaan etis yang dalem soal ngeksploitasi citra mereka tanpa persetujuan.
Kurangnya Regulasi: Di tahun 2025, aturan soal deepfake masih di tahap awal. Ini bikin ketidakpastian hukum dan etika buat brand. Penggunaan deepfake yang nggak bertanggung jawab oleh satu brand bisa ngerusak reputasi seluruh industri periklanan.
Risiko Keamanan dan Manipulasi: Kalau brand pakai deepfake, itu nunjukin mereka punya teknologinya. Kalau sistem ini diretas, teknologi itu bisa dipakai buat hal jahat, kayak bikin deepfake yang ngerusak citra brand itu sendiri. Terus, makin banyak konten deepfake yang beredar tanpa transparansi, makin susah buat konsumen bedain mana yang nyata mana yang palsu.
Ini Nggak Cuma Soal Boleh atau Nggak, Tapi..
Di luar risiko hukum dan reputasi, ada dilema etika yang dalem soal pakai deepfake di konten komersial. Ini soal apa yang benar untuk dilakukan, bukan cuma apa yang diizinin sama hukum.
Keaslian dan Kejujuran: Apakah iklan yang pakai deepfake itu nyampein pesan yang jujur ke konsumen? Kalau penonton nggak tahu mereka ngelihat sesuatu yang palsu, apakah itu bentuk penipuan yang etis?
Dehumanisasi dan Komodifikasi: Kalau citra dan suara seseorang bisa diubah sesuka hati, apakah ini bikin individu jadi kayak barang yang bisa dipakai tanpa batas? Terus, gimana perasaan aktor asli yang perannya diganti sama deepfake, atau keluarga orang yang citranya dipakai setelah meninggal?
Persetujuan yang Berkelanjutan: Kalau seseorang ngasih persetujuan buat satu kampanye, apa persetujuan itu berlaku buat semua penggunaan ke depannya?
Dampak Sosial yang Lebih Luas: Pakai deepfake secara luas, bahkan buat tujuan komersial yang "nggak berbahaya", bisa bikin garis antara kebenaran dan kepalsuan makin kabur. Ini bisa nambahin masalah hoaks yang udah ada.
Gimana Brand Seharusnya Menggunakan Deepfake?
Kalau sebuah brand mutusin buat pakai deepfake, ada beberapa praktik terbaik dan etika yang harus jadi panduan mutlak.
Transparansi Adalah Kunci: Selalu ungkapin secara jelas dan mencolok kalau konten itu deepfake atau udah dimanipulasi AI. Kejujuran bakal ngebangun kepercayaan, bukan ngancurinnya. Kasih tahu juga audiensmu kenapa brand-mu pakai teknologi ini.
Persetujuan Jelas dan Berlapis: Harus dapat persetujuan tertulis yang sangat jelas dan komprehensif dari setiap individu yang citra atau suaranya bakal dipakai. Pastiin mereka beneran ngerti sejauh mana manipulasinya, durasi pemakaiannya, dan tujuannya. Buat orang yang udah meninggal, pastiin dapat persetujuan dari ahli warisnya.
Pikirin Dampak Reputasi Jangka Panjang: Pikirin lagi, apa sih untungnya pakai deepfake dibanding risikonya? Lakuin riset buat ngukur gimana audiensmu bakal bereaksi.
Fokus ke Manfaat Positif: Pakai deepfake buat tujuan yang jelas ngasih nilai positif, kayak buat aksesibilitas (narjemahin video ke bahasa isyarat pakai avatar deepfake) atau buat edukasi.
Patuhi Hukum dan Regulasi: Konsultasi sama ahli hukum yang ngerti soal hak cipta, privasi, dan hukum media. Pastiin kamu ngikutin perkembangan aturan deepfake.
Kesimpulannya,
Deepfake itu salah satu teknologi paling kuat dan berpotensi ngubah total produksi konten komersial. Dia nawarin janji efisiensi, personalisasi, dan kreativitas yang nggak terbatas.
Tapi, daya tariknya itu datang sama tanggung jawab besar. Pakai deepfake yang nggak hati-hati, nggak transparan, atau tanpa persetujuan, bisa ngerusak kepercayaan publik, bikin masalah hukum, dan ngancurin reputasi brandmu permanen.
Masa depan konten komersial mungkin emang bakal ngelibatin deepfake, tapi masa depan yang sukses bakal jadi milik brand yang milih buat pakainya dengan integritas, transparansi, dan rasa hormat yang dalem sama hak-hak individu dan kepercayaan publik. Ini artinya, kamu harus ngutamain persetujuan yang jelas, ngungkapin secara transparan, dan selalu nanya, "Apakah ini benar untuk dilakukan?" sebelum "Apakah ini bisa dilakukan?". Dengan pendekatan yang bertanggung jawab, deepfake bisa jadi alat yang kuat buat nyeritain kisah dan nyambung sama konsumen. Tanpa itu, dia berisiko jadi senjata yang ngerusak.
image source : Unsplash, Inc.