Bongkar Psikologi Kenapa Kita Gampang Banget Tergoda Makanan Viral

ardipedia.com – Kamu lagi asyik-asyiknya scroll TikTok, jarimu meluncur dari satu video ke video lain, sampai akhirnya berhenti di satu video. Itu video makanan. Bukan sembarang makanan, tapi makanan yang lagi nge-hits banget, yang semua orang kayaknya udah pada nyobain. Lihat dari layarnya aja, kamu langsung merasa ada dorongan kuat di perut dan pikiranmu. Rasanya, hari ini juga kamu harus nyobain makanan itu. Nggak peduli kalau harus antre panjang, nggak peduli kalau harganya agak mahal, yang penting kamu harus dapetin makanan itu. Gue yakin, kamu pasti pernah ngalamin hal ini. Pertanyaannya, kenapa sih kita gampang banget tergoda sama makanan viral? Apa yang bikin video berdurasi 15 detik itu punya kekuatan sebesar itu buat mengendalikan keinginan kita?

Ternyata, fenomena ini nggak cuma soal rasa penasaran atau lapar doang, lho. Di balik semua video viral itu, ada trik-trik psikologi yang secara nggak sadar mempengaruhi otak kita. Dari cara penyajiannya, sampai ribuan komentar yang bilang enak, semuanya bekerja sama untuk bikin kita terhipnotis. Yuk, kita bongkar satu per satu rahasia di balik kenapa makanan viral bisa punya daya pikat yang luar biasa.

1. Gara-gara Takut Ketinggalan, Alias FOMO

Ini mungkin alasan yang paling sering kamu dengar dan rasakan sendiri. Namanya FOMO atau Fear of Missing Out. Di era media sosial kayak sekarang, FOMO itu jadi virus yang menyebar cepat. Setiap kali kamu melihat teman-teman di Instagram Story lagi makan cromboloni, atau di TikTok lagi nyobain bakso aci yang lagi hits, ada perasaan nggak enak di dalam diri kamu. Seolah-olah, kalau kamu nggak ikutan, kamu bakal ketinggalan cerita, ketinggalan momen seru, dan nggak dianggap sebagai bagian dari kelompok yang lagi "in".

Makanan viral itu ibarat tiket masuk ke sebuah tren sosial. Kamu nggak cuma makan makanannya, tapi kamu juga membeli sebuah pengalaman. Pengalaman yang bisa kamu ceritakan ke teman-teman, atau yang paling penting, bisa kamu posting di media sosialmu sendiri. Dengan begitu, kamu merasa jadi bagian dari tren itu. Jadi, dorongan untuk membeli makanan viral itu bukan cuma karena kamu lapar, tapi karena kamu nggak mau ketinggalan obrolan di tongkrongan. Kamu nggak mau jadi satu-satunya yang belum nyobain. Ini adalah tekanan sosial yang sangat nyata, dan platform kayak TikTok dan Instagram adalah tempat berkembang biaknya FOMO yang paling subur.

2. Efek Keramaian dan Pengakuan Sosial (Social Proof)

Coba deh kamu perhatikan, kenapa sih sebuah restoran atau gerai makanan yang ramai dan punya antrean panjang itu justru bikin kita makin penasaran? Bahkan kalau tadinya kamu nggak niat beli, pas lihat antrean panjang, kamu jadi mikir, "Wah, ini pasti enak banget, deh. Sampai segitunya pada ngantre." Fenomena ini disebut Social Proof atau bukti sosial.

Otak kita itu punya kecenderungan untuk berpikir bahwa kalau banyak orang melakukan atau menyukai sesuatu, pasti hal itu bagus. Kita cenderung mengikuti apa yang dilakukan mayoritas, karena kita menganggap itu adalah pilihan yang aman dan benar. Jadi, ketika sebuah video makanan di TikTok punya jutaan likes dan shares, serta ribuan komentar yang semuanya positif, otak kita langsung menginterpretasikan itu sebagai sinyal bahwa makanan itu memang lezat dan layak dicoba. Ini adalah jalan pintas yang dipakai otak kita untuk mengambil keputusan. Kamu nggak perlu riset atau mikir lama, cukup lihat "bukti" sosial yang ada. Semakin ramai, semakin terpercaya, begitu kira-kira cara kerja di kepala kita.

3. Mencari Hal Baru dan Dopamin yang Bikin Nagih

Otak kita itu, secara natural, suka banget sama hal-hal yang baru dan unik. Setiap kali kita menemukan sesuatu yang baru, otak melepaskan hormon dopamin, yang bikin kita merasa senang dan puas. Nah, makanan viral itu seringkali menawarkan konsep yang benar-benar baru. Dulu kita nggak pernah kepikiran ada croissant yang bentuknya bulet kayak donat, atau es serut yang disiram saus Milo super kental.

Mencicipi makanan viral ini memicu rasa penasaran dan memberikan sensasi kebaruan. Bahkan sebelum kamu mencicipi, ide atau konsepnya aja udah bikin otak kamu dapat reward berupa dopamin. Makanya, kita nggak cuma tertarik sama makanan yang rasanya enak, tapi juga yang bentuknya unik dan cara makannya beda dari biasanya. Pengalaman ini memberikan sensasi yang berbeda dan membuat otak kita merasa "hidup". Dan yang namanya dopamin, itu bikin kita ketagihan. Kita jadi ingin terus-terusan mencari sensasi dan pengalaman baru.


4. Visualisasi yang Bikin Otak "Tertipu"

Platform kayak TikTok itu sangat visual. Video-video makanan yang viral biasanya nggak cuma nunjukin makanannya, tapi juga cara-cara yang bikin kita ngiler banget. Misalnya, video slow motion keju yang ditarik, cokelat yang meleleh, atau isian krim yang luber saat digigit. Teknik visual ini disebut visual priming, di mana visual yang menarik itu mempersiapkan otak kita untuk "menerima" pengalaman rasa yang sama menariknya.

Kita melihat visual yang sempurna, dan secara nggak sadar, kita membayangkan rasanya juga sempurna. Padahal, seringkali rasa aslinya nggak se-ekstrem visualnya. Keju yang ditarik panjang itu mungkin cuma gurih biasa, atau cokelat yang meleleh itu cuma manis doang. Tapi karena otak kita sudah dipersiapkan oleh visual yang memukau itu, kita jadi punya ekspektasi yang sangat tinggi. Ditambah lagi, proses visual ini juga mengaktifkan bagian otak yang berhubungan dengan memori dan emosi, bikin kita lebih gampang terikat dengan makanan itu, bahkan sebelum mencicipinya.

5. Usaha yang Dikeluarkan Menambah Nilai Makanan

Pernah nggak sih kamu rela antre berjam-jam cuma buat dapetin satu porsi makanan viral? Atau kamu sampai jauh-jauh pesan dari luar kota? Nah, ternyata, usaha yang kita keluarkan itu punya efek psikologis yang menarik. Ini disebut cognitive bias atau bias kognitif.

Ketika kita sudah mengeluarkan banyak waktu, tenaga, atau uang untuk mendapatkan sesuatu, otak kita akan menilai hal itu jadi lebih berharga. Ini adalah cara otak kita membenarkan pengorbanan yang sudah kita lakukan. Jadi, meskipun rasanya ternyata "B aja", kita cenderung akan tetap bilang "enak" atau minimal "lumayan", karena kita nggak mau merasa pengorbanan kita sia-sia. Kita nggak mau mengakui kalau kita sudah antre panjang cuma buat makanan yang rasanya biasa aja. Proses ini bikin kita merasa makanan itu pantas untuk dibeli, dan memori kita akan cenderung mengingat sisi positifnya aja.

6. Membentuk Identitas Diri sebagai "Foodie"

Di era digital, apa yang kita konsumsi, termasuk makanan, seringkali jadi bagian dari identitas kita. Dengan nyobain semua makanan viral yang ada, kita merasa jadi seorang "foodie" atau orang yang selalu up-to-date dengan tren kuliner. Kita bukan cuma makan buat mengisi perut, tapi juga buat menunjukkan siapa diri kita di media sosial.

Dengan memposting foto atau video makanan viral, kita mendapatkan validasi dari orang lain. Kita merasa jadi keren, modern, dan punya selera yang bagus. Ini adalah dorongan yang sangat kuat. Nggak heran, banyak orang yang rela beli makanan viral cuma untuk difoto, bukan untuk dinikmati rasanya. Makanan itu jadi alat untuk membangun citra diri yang kita inginkan di mata orang lain.

Jadi, dari semua penjelasan tadi, bisa kita simpulkan kalau makanan viral itu lebih dari sekadar makanan. Di baliknya ada psikologi yang sangat kompleks yang bekerja, mulai dari FOMO, social proof, sampai keinginan kita untuk membentuk identitas. Memahami ini semua bisa membantu kita jadi lebih sadar saat scroll media sosial. Kita bisa membedakan mana yang benar-benar kita inginkan karena rasanya, dan mana yang cuma kita inginkan karena kita takut ketinggalan. Jadi, mulai sekarang, coba deh makan karena kamu pengen, bukan karena kamu harus.

  

image source : Unsplash, Inc.

Gas komen di bawah! Santai aja, semua komentar bakal kita moderasi biar tetap asyik dan nyaman buat semua!

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال