ardipedia.com – Coba jujur, siapa di sini yang pas tanggal gajian tiba-tiba berasa sultan, tapi baru seminggu uangnya sudah menguap kayak kena sihir? Terus, kamu mulai lihat teman-teman di media sosial lagi liburan ke Bali, upgrade gadget terbaru, atau tiba-tiba sudah bisa bayar cicilan rumah. Langsung deh, vibes-nya berubah, hati kecil bilang, “Kenapa gue kayaknya miskin banget, ya?”
Sensasi ini, Bro/Sis, punya nama kerennya: Financial Anxiety. Dan kalau kamu saat ini ada di usia 20-an, kamu gak sendirian. Jutaan anak muda lain merasakan hal yang sama. Rasanya kayak lagi lari maraton, tapi finish line-nya gak kelihatan, dan semua orang di sebelah kamu sudah naik jet pribadi. Tenang, ini bukan berarti kamu gagal atau kurang berusaha. Ada banyak faktor yang bikin tekanan finansial di usia ini jadi super berat. Kita bedah satu per satu, ya, biar kamu gak cuma panik, tapi juga bisa paham akar masalahnya.
Generasi Sandwich di Era Digital
Kenapa rasanya duit itu selalu kurang? Salah satu alasannya adalah kamu lahir di era yang kompleks. Generasi kita sering disebut Generasi Sandwich atau yang terhimpit. Kita gak cuma mikirin diri sendiri. Ada tuntutan, baik dari diri sendiri atau ekspektasi keluarga, untuk membantu orang tua atau adik-adik. Beda sama generasi sebelumnya, mungkin mereka fokus nabung buat rumah sendiri, kita harus alokasikan sebagian buat ‘bakti’ ke keluarga. Ini bukan keluhan, ya, tapi kenyataan yang harus diakui. Tanggung jawab finansial kita itu lebih berat di awal, dan itu totally normal.
Selain itu, kamu hidup di zaman FOMO (Fear of Missing Out) parah. Media sosial itu ibarat etalase super besar yang isinya cuma barang-barang bagus dan momen-momen sempurna. Teman A beli kopi branded tiap hari, Teman B liburan ke Jepang, Teman C tiba-tiba sudah side hustle-nya sukses. Semua itu membuat standar hidup yang tadinya personal jadi standar komunal. Kamu merasa wajib punya apa yang orang lain punya. Padahal, yang kamu lihat di Instagram itu cuma highlight reel, bukan behind the scene-nya. Mereka gak upload pas lagi makan mi instan di akhir bulan atau pas lagi stres mikirin tagihan. Ini yang bikin pengeluaranmu jadi bengkak buat hal-hal yang sebenarnya gak kamu butuhkan, hanya untuk terlihat ‘setara’ atau ‘keren’.
Biaya Hidup yang Makin 'Gila'
Coba kita lihat realita harga-harga. Dibandingkan sepuluh atau dua puluh tahun lalu, biaya hidup itu melonjak drastis, terutama di kota-kota besar. Harga properti (rumah atau apartemen) sudah gak masuk akal bagi first jobber. UMR mungkin naik tiap tahun, tapi kenaikan harga kebutuhan pokok, sewa tempat tinggal, sampai harga secangkir kopi pun rasanya lebih kencang larinya.
Data dari berbagai lembaga riset ekonomi menunjukkan bahwa daya beli anak muda saat ini memang tertekan. Pendapatan yang masuk, sebagian besar sudah habis buat kebutuhan primer: bayar sewa, transportasi, dan makanan. Sisanya? Kecil banget buat ditabung, apalagi diinvestasikan. Kamu gak miskin, tapi gaji kamu cuma cukup untuk bertahan hidup di tengah biaya hidup yang brutal. Ini adalah masalah struktural ekonomi, bukan kegagalan individu kamu. Jadi, kalau kamu merasa sulit nabung, jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri. Coba riset data inflasi dan kenaikan harga properti di kotamu. Kamu akan sadar, perjuanganmu itu memang berat.
Jebakan Cicilan dan Gengsi
Oke, kita sudah bahas tekanan dari luar. Sekarang kita lihat tekanan dari dalam, yang sering gak disadari. Kita gak bisa bohong, di usia 20-an itu kita lagi gencar-gencarnya membentuk identitas. Penampilan, gaya hidup, dan barang yang kita punya jadi bagian penting dari ‘siapa kamu’ di mata sosial. Ini yang sering jadi pemicu kenapa kita sering terperangkap dalam jebakan cicilan dan utang konsumtif.
Misalnya, kamu ambil cicilan handphone terbaru padahal yang lama masih bagus, cuma karena gak mau ketinggalan. Atau, kamu pakai kartu kredit buat beli baju branded yang cuma dipakai sekali buat event. Di zaman sekarang, utang itu gampang banget didapat. Ada Paylater, pinjol (pinjaman online) legal maupun ilegal, dan fasilitas kredit lain. Semua menawarkan kemudahan, tapi ujungnya adalah beban yang mencekik.
Gue pernah dengar analogi gini: utang konsumtif itu kayak meminjam kebahagiaan dari masa depan. Kamu senang sebentar karena punya barang itu sekarang, tapi di masa depan, kamu harus bayar dengan bunga, dan yang paling parah, dengan stress dan kecemasan finansial. Kenapa rasanya miskin? Karena sebagian gaji bulananmu sudah otomatis dialokasikan buat bayar utang di masa lalu. Kamu jadi cuma bekerja untuk melunasi masa lalu, bukan untuk membangun masa depan. Ini adalah lingkaran setan yang harus kamu sadari dan putuskan.
Kurangnya Edukasi Finansial yang Relevan
Sejak sekolah, kita diajari tentang aljabar, fisika, sejarah perang, tapi jarang banget diajari cara mengelola uang dengan benar. Kita gak diajari bedanya aset dan liabilitas, cara kerja inflasi, atau pentingnya dana darurat. Alhasil, pas masuk dunia kerja, kita jadi buta finansial.
Banyak anak 20-an yang gak tahu kalau gaji itu gak cuma angka di slip, tapi ada potongan pajak, BPJS, dan lain-lain. Mereka gak tahu cara bikin anggaran yang realistis atau pentingnya punya asuransi kesehatan mandiri. Kita belajar dari coba-coba, dari salah, atau dari konten random di internet. Padahal, literasi finansial itu sama pentingnya dengan literasi membaca.
Gue gak menyalahkan sistem pendidikan, ya, tapi faktanya kita harus belajar sendiri. Kamu gak harus jadi pakar saham, tapi minimal kamu tahu konsep dasar: pendapatan – tabungan (dana darurat & investasi) = pengeluaran. Jangan dibalik: pendapatan – pengeluaran = sisa (yang seringnya nol). Memahami ini bisa mengubah mindset dari yang tadinya cuma bertahan hidup, jadi mulai merencanakan hidup.
Tekanan untuk 'Cepat Kaya'
Sekarang ini, banyak banget course, workshop, atau influencer yang jualan mimpi cepat kaya atau financial freedom di usia muda. Semua orang seakan-akan berlomba-lomba untuk pensiun dini. Ini menciptakan tekanan baru. Kamu merasa harus investasi di segala macam instrumen: saham, kripto, reksa dana, properti, dalam waktu singkat.
Padahal, investasi itu butuh ilmu, riset, dan yang paling penting, kesabaran. Cepat kaya itu jarang banget terjadi, dan kalau ada, risikonya pasti tinggi. Tekanan untuk harus cuan (untung) besar di usia muda ini justru bikin banyak orang melakukan keputusan finansial yang gegabah, seperti all-in di instrumen berisiko tinggi atau bahkan kena tipu investasi bodong.
Ingat, perjalanan finansial itu maraton, bukan sprint. Kamu baru mulai lari. Wajar kalau kamu belum sekaya entrepreneur yang sudah puluhan tahun berbisnis atau investor yang sudah mulai sejak kuliah. Fokus kamu saat ini harusnya adalah membangun fondasi yang kuat: bebas dari utang konsumtif, punya dana darurat yang cukup, dan mulai investasi secara konsisten dengan risiko yang sesuai dengan usiamu. Tekanan untuk ‘harus sukses sekarang’ itu cuma ilusi yang diciptakan oleh media sosial, jangan sampai itu merusak kesehatan mental dan finansialmu.
Mengubah Sudut Pandang
Jadi, kenapa kamu di usia 20-an selalu merasa miskin? Jawabannya kompleks. Bukan karena kamu malas atau bodoh. Tapi karena:
Kamu menanggung beban ekonomi keluarga dan biaya hidup yang tinggi.
Kamu terjebak dalam perbandingan sosial di media.
Kamu terjerat utang konsumtif yang mudah didapat.
Kamu kekurangan literasi finansial sejak awal.
Kamu tertekan oleh ekspektasi untuk sukses secara instan.
Lalu, apa yang bisa kamu lakukan? Gak perlu langkah ekstrem, mulai dari yang paling sederhana.
Kenali Uangmu secara Jelas
Buat budget yang jujur. Gak usah ribet pakai aplikasi yang canggih-canggih. Cukup catat pengeluaranmu selama sebulan di Excel atau buku catatan. Setelah tahu ke mana saja uangmu pergi (misalnya, 30% buat nongkrong, 40% buat sewa), kamu bisa ambil keputusan realistis. Prinsipnya: Anggaran itu izin buat kamu bisa menghabiskan uang, bukan larangan. Setelah kamu tahu batasnya, kamu gak akan cemas karena semuanya terencana.
Jauhi Utang Konsumtif
Fokuslah melunasi utang yang berbunga tinggi (kartu kredit, pinjol) secepat mungkin. Kalau ada barang yang kamu mau, tunda. Coba nabung dulu. Sensasi menunggu dan akhirnya membeli dengan uang sendiri itu jauh lebih memuaskan ketimbang membeli sekarang dan stress bayar cicilan bulanan.
Bangun Dana Darurat (The Non-Negotiable)
Ini wajib. Dana darurat itu ibarat parasut. Kalau ada PHK, sakit, atau hal urgent lain, kamu gak perlu jual barang atau utang. Target awalnya, kumpulkan minimal 3-6 kali pengeluaran bulananmu. Taruh dana ini di tempat yang gampang dicairkan, misalnya tabungan atau reksa dana pasar uang. Ini adalah investasi terbaik untuk kesehatan mentalmu.
Belajar Investasi, Sedikit Saja
Setelah punya dana darurat, mulailah berinvestasi. Gak perlu langsung besar. Coba yang modalnya kecil dan risikonya terukur, misalnya reksa dana. Belajar sedikit demi sedikit. Ingat kata-kata Warren Buffett: “Jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang.” Diversifikasi. Investasi itu gak harus bikin kamu kaya mendadak, tapi dia akan melindungi nilai uangmu dari inflasi dan membantu mencapai tujuan jangka panjang.
Batasi Porsi Media Sosial
Kurangi waktu scroll dan membandingkan hidupmu dengan orang lain. Pahami bahwa setiap orang punya timeline dan privilege berbeda. Fokus pada perjalanan finansialmu sendiri. Kalau perlu, unfollow akun-akun yang bikin kamu merasa insecure dan ganti dengan akun yang memberikan edukasi finansial yang santai dan low profile.
Financial anxiety itu nyata, dan wajar kamu merasakannya. Tekanan di usia 20-an itu memang berat. Tapi, dengan pemahaman yang benar, mengakui realitas ekonomi, dan mengambil langkah kecil yang konsisten, kamu bisa mengubah kecemasan itu jadi motivasi. Kamu gak harus kaya sekarang, tapi kamu harus mulai bijak dengan uangmu sekarang. Ini adalah investasi terbaik yang bisa kamu berikan untuk dirimu di masa depan. Semangat!
image source : Unsplash, Inc.