ardipedia.com – Coba deh, jujur sama diri kamu sendiri. Kapan terakhir kali kamu bener-bener nggak ngapa-ngapain tanpa rasa bersalah? Nggak buka laptop buat cek email kerjaan utama, nggak ngurusin side hustle kedua, nggak scroll feed buat cari ide bisnis baru, dan nggak merasa kamu harus produktif setiap detiknya? Susah, kan? Kita, Gen Z, kayaknya udah ditanamkan mindset kalau istirahat itu dosa dan produktif itu nafas. Kalau nggak ada side hustle minimal dua biji, rasanya udah ketinggalan banget. Nah, obsesi buat selalu sibuk dan produktif ini punya nama: Toxic Productivity.
Toxic Productivity itu bukan berarti produktif itu buruk, lho. Nggak. Produktif itu bagus! Tapi, dia jadi toxic ketika nilai diri kamu nggak lagi diukur dari kualitas hidup kamu, tapi dari kuantitas pekerjaan yang kamu selesaikan. Kamu merasa bersalah kalau nggak kerja. Kamu nggak bisa santai lihat deadline yang padat. Kamu bahkan nggak bisa menikmati liburan karena kepala kamu isinya to-do list yang nggak ada habisnya. Intinya, kamu udah jadi budak dari produktivitas kamu sendiri.
Di tengah tekanan ekonomi dan hype digital, Side Hustle alias kerja sampingan itu memang jadi solution yang menarik. Nggak ada salahnya punya sumber penghasilan tambahan. Tapi, side hustle itu jadi toxic ketika dia merampas sisa waktu dan energi yang seharusnya kamu pakai buat istirahat, self-care, atau hangout sama orang tersayang. Side hustle yang seharusnya jadi "peluang," malah jadi rantai tambahan di leher kamu.
Artikel ini hadir bukan buat nyuruh kamu resign dari side hustle kamu (itu keputusan kamu!), tapi buat ajak kamu refleksi diri secara low profile. Kapan sih side hustle itu udah nggak lagi jadi hustle yang seru, tapi udah jadi beban toxic yang menguras jiwa? Kapan kamu harus berani bilang cukup dan ngambil jeda? Gue udah rangkum beberapa tanda yang menunjukkan bahwa kamu nggak cuma produktif, tapi udah masuk ke fase Toxic Productivity dan butuh banget rem buat side hustle kamu.
Kesehatan Fisik Dan Mental Kamu Menurun Drastis
Tanda paling jelas kalau kamu udah masuk ke jurang Toxic Productivity adalah penurunan drastis pada kesehatan fisik dan mental kamu. Ini bukan cuma capek biasa setelah lembur, tapi ini capek yang nggak hilang walaupun kamu udah tidur 8 jam.
Secara fisik, kamu mulai sering sakit-sakitan atau imun kamu melemah. Kamu sering sakit kepala, nyeri punggung yang nggak jelas, atau gangguan tidur (insomnia atau malah tidur berlebihan tapi tetap nggak segar). Secara mental, ini lebih terasa: kamu jadi gampang cemas (rasanya kayak panik terus padahal nggak ada deadline besar), mood kamu gampang berubah, dan yang paling parah, kamu kehilangan joy atau kesenangan dari hal-hal yang dulu kamu suka. Misalnya, kamu nggak lagi semangat buat nonton film favorit atau ketemu teman. Vibe kamu selalu lelah dan murung.
Ketika side hustle yang kamu kejar itu mulai menggerogoti basic needs kamu—yaitu tidur, makan teratur, dan kesehatan mental—itu adalah sinyal yang super keras kalau kamu harus berhenti sejenak. Uang tambahan yang kamu dapat nggak akan bisa menggantikan kesehatan yang hilang. Gue kasih perumpamaan: kamu sibuk ngisi tangki bensin mobil (uang), tapi kamu lupa kalau mesinnya (badan kamu) udah panas banget dan mau meledak. Mau seberapa penuh bensinnya, kalau mesinnya rusak, mobilnya nggak akan jalan juga, kan? Rehat itu bukan luxury, tapi necessity. Low profile itu nggak cuma soal gaya berpakaian, tapi juga soal mengakui keterbatasan diri dan nggak memaksakan diri sampai batas ambang.
Kamu Terlalu Sering Mengorbankan Hubungan Sosial
Nah, ini nih yang sering banget jadi korban dari side hustle yang toxic. Kita sering nggak sadar kalau kita udah mengorbankan hubungan sosial yang bener-bener berharga di hidup kita demi deadline yang nggak ada habisnya. Kamu sering membatalkan janji hangout sama teman, kamu jarang banget ngobrol yang berkualitas sama keluarga di rumah, atau bahkan hubungan sama pasangan kamu jadi dingin karena kamu nggak pernah bener-bener hadir saat bersamanya.
Side hustle itu jadi toxic ketika kamu mulai merasa waktu kamu terlalu berharga buat dihabiskan untuk bersantai atau bersosialisasi. Kamu mulai melihat interaksi sosial sebagai gangguan atau buang-buang waktu yang seharusnya bisa kamu pakai buat ngasilin uang. Ini adalah mindset yang berbahaya karena manusia itu butuh koneksi. Koneksi sosial itu adalah sistem support emosional yang bantu kita survive dan ngasih kita joy yang nggak bisa dikasih oleh uang.
Gue mau kasih tahu satu hal: hubungan sosial yang hangat itu adalah aset yang nggak ternilai. Nggak ada email atau project yang lebih penting daripada mendengar cerita tawa teman kamu atau pelukan dari orang tua kamu. Keseimbangan itu penting. Kalau kamu nggak bisa ngasih waktu berkualitas minimal seminggu sekali buat orang-orang terdekat kamu, itu adalah tanda kalau side hustle kamu udah melanggar batas dan mengisolasi kamu. Nggak usah nunda buat benerin hubungan. Kehilangan client mungkin bisa diganti, tapi kehilangan momen sama orang tersayang nggak bisa dibeli lagi.
Side Hustle Sudah Nggak Lagi Menghasilkan
Awalnya, side hustle itu pasti seru, kan? Diawali dari gairah atau minat kamu. Kamu happy ngerjain-nya, kamu merasa tertantang, dan ada kepuasan batin saat kamu ngasilin sesuatu dari passion kamu. Tapi, di fase Toxic Productivity, side hustle kamu itu udah kehilangan joy-nya dan cuma jadi kewajiban yang berat.
Kamu nggak lagi happy saat ngerjain-nya. Kamu ngerjain cuma karena takut uangnya hilang atau takut dicap nggak produktif sama diri sendiri atau orang lain. Setiap tugas terasa membebani dan menguras energi, bahkan yang dulunya kamu suka. Side hustle kamu itu udah jadi kerjaan kedua yang menyeramkan, bukan lagi tempat bermain yang ngasih kamu energi.
Ini adalah momen buat kamu mengevaluasi ulang value dari side hustle kamu. Apakah tujuannya masih sama? Apakah dia ngasih kamu lebih banyak stress daripada uang atau kepuasan? Kalau jawabannya iya, maka side hustle itu udah nggak worth it lagi buat kamu lanjutkan. Side hustle yang sehat itu seharusnya jadi peluang dan eksplorasi, bukan penjara emas. Ingat, nggak semua hal yang ngasilin uang itu harus kamu kerjain. Kamu berhak buat memilih fokus kamu. Berani bilang nggak pada peluang yang nggak sejalan sama value dan joy kamu adalah tanda kematangan diri yang low profile dan elegan.
Kamu Nggak Punya Space Buat Boredom dan Self-Reflection
Di tengah gempuran Toxic Productivity, kita sering banget mengisi setiap detik waktu luang kita dengan aktivitas produktif. Kalaupun lagi nggak kerja, kita scroll social media buat cari inspirasi (yang sebenernya malah bikin insecure), atau dengerin podcast sambil bersih-bersih. Kita takut banget sama yang namanya boredom (kebosanan).
Nah, rasa bosan itu sebenernya penting banget buat kreativitas dan kesehatan mental. Saat kamu bosan, otak kamu punya space buat mengolah informasi, memunculkan ide-ide orisinal, dan yang paling penting, buat Self-Reflection yang jujur. Kalau hidup kamu isinya cuma deadline dari satu hustle ke hustle lainnya, kamu nggak akan punya waktu buat mengenali diri kamu sendiri dan mengukur progress hidup kamu secara holistic.
Toxic Productivity itu bikin kamu hidup di mode autopilot, cuma ngerjain apa yang harus dikerjain tanpa tahu kenapa kamu ngerjain itu. Kalau kamu nggak pernah ngasih diri kamu waktu buat bener-bener nggak ngapa-ngapain selama 30 menit sehari—cuma duduk dan napas—itu adalah sinyal yang super keras kalau kamu udah terjebak dalam lingkaran setan overworking. Rehat yang bener-bener rehat itu adalah kunci buat produktivitas yang sustainable. Kamu harus mengizinkan diri kamu bosan biar ide-ide terbaik bisa muncul dan kamu bisa bener-bener dengar apa kata hati kamu.
Tujuan Side Hustle Bergeser Dari Value Ke Validation
Terakhir, kamu harus aware kalau tujuan side hustle kamu udah bergeser secara halus. Awalnya, mungkin kamu ngejar side hustle buat nambah skill, mengekspresikan kreativitas, atau mencapai kebebasan finansial (yang value-nya jelas). Tapi, seiring waktu, tujuannya bergeser cuma buat mendapatkan pengakuan, membuktikan diri, atau merasa lebih baik dari orang lain.
Side hustle kamu itu udah nggak lagi tentang kontribusi nyata atau tujuan finansial yang terukur, tapi cuma tentang pencitraan dan validasi diri. Kamu terus ngejar project baru bukan karena butuh uangnya, tapi karena takut orang lain lihat kamu nganggur. Kamu jadi terdorong buat update terus soal kesibukan kamu di social media (meskipun kamu nggak mau pamer), cuma buat mempertahankan image sebagai orang yang super produktif.
Ini adalah lubang emosional yang nggak akan pernah bisa diisi oleh uang atau kesibukan. Re-Parenting diri sendiri di sini berarti kamu harus kembali ke core value kamu. Tanya ke diri kamu: Apa yang bener-bener penting di hidup kamu? Apakah itu uang, waktu luang, kesehatan, atau pengakuan orang lain? Kalau side hustle kamu udah nggak sejalan sama value kamu (misalnya, kamu value family time, tapi side hustle kamu ngambil semua waktu malam kamu), kamu harus berani mengurangi atau mengakhirinya. Hidup yang sehat dan low profile itu adalah hidup yang selaras antara tindakan dan value kamu, bukan hidup yang heboh karena ngejar validasi yang nggak ada habisnya.
So, Toxic Productivity itu real dan sering nyerang kita yang ambisius. Nggak ada yang salah sama punya Side Hustle, asalkan kamu memegang kendali. Kalau tanda-tanda tadi udah muncul, itu clear sign kalau kamu harus menginjak rem dan mendefinisikan ulang arti sukses buat kamu. Sukses itu bukan soal seberapa banyak uang yang kamu dapat, tapi soal seberapa happy, sehat, dan aware kamu menjalani hidup ini. Berani berhenti dan istirahat itu adalah bentuk produktif yang paling powerful dan paling low profile yang bisa kamu lakukan. Take that break, you deserve it!
image source : Unsplash, Inc.