ardipedia.com – Lagi rame banget nih di platform mana pun soal Silent Quitting. Dengar namanya aja udah bikin kuping panas, ya? Istilah ini sering banget dapet label negatif: dibilang malas, kurang ambisi, atau bahkan nggak loyal. Intinya, Silent Quitting itu adalah vibe di mana kamu hanya ngerjain tugas sesuai deskripsi pekerjaan kamu, nggak lebih, nggak kurang. Kamu nggak lagi stay lembur, nggak lagi ngambil project di luar jobdesc kamu, dan kamu menarik boundaries yang jelas antara hidup dan kerja.
Buat generasi old school, ini kelihatan kayak pemberontakan. Tapi, buat kita, Gen Z, fenomena ini nggak bisa dilihat cuma dari satu sisi aja. Di tengah gempuran Toxic Productivity (yang gue bahas di artikel sebelumnya) dan pressure buat selalu ngasih "ekstra" tanpa kompensasi yang jelas, Silent Quitting itu bisa jadi reaksi protektif yang sangat wajar, atau bahkan bentuk Self-Care yang paling sejati. Jadi, beneran malas atau Self-Care yang terlambat datang? Gue mau ajak kamu buat membongkar mindset di balik Silent Quitting ini dengan jujur dan low profile. Kita nggak nge-judge, kita cuma nyari tahu esensinya.
Gue nggak mau bilang Silent Quitting itu selalu benar atau selalu salah. Tapi, gue mau kasih kamu 4 sudut pandang kenapa Silent Quitting bisa jadi sinyal positif bahwa kamu sudah aware dan sedang mencoba healing dari culture kerja yang toxic. Ini adalah perlindungan diri yang sangat smart di tengah hype kerja yang nggak sehat.
Silent Quitting Sebagai Reaksi Terhadap Overworking
Coba deh kita lihat Silent Quitting ini dari sudut pandang sebab-akibat. Nggak ada orang yang tiba-tiba memutuskan buat menarik effort mereka tanpa alasan. Silent Quitting itu seringkali bukan akar masalah, tapi gejala dari Toxic Work Culture yang udah nggak tertahankan.
Kita udah hidup di era di mana kerja lembur nggak dibayar dianggap sebagai loyalitas, dan mengambil jobdesk orang lain tanpa kenaikan gaji dianggap sebagai ambisi. Perusahaan sering menuntut effort 150% tapi memberi reward 50%. Ketika kontrak emosional ini rusak, ketika kamu ngerasa kamu terus-terusan diambil effort-nya tanpa apresiasi yang setimpal, Silent Quitting adalah mekanisme pertahanan diri yang sehat secara finansial dan emosional.
Gue kasih perumpamaan, kalau kamu masukin uang Rp100 ke mesin vending machine (kerjaan kamu), tapi mesin itu cuma ngasih kamu kembalian Rp50 dan minuman yang kamu dapet juga cuma setengah botol, lama-lama kamu bakal berhenti masukin uang, kan? Kamu hanya akan masukin uang sesuai harga minuman itu (yaitu jobdesc kamu). Silent Quitting adalah kamu berhenti over-investing effort kamu ke tempat yang hanya ngasih return yang minimal. Ini bukan malas. Ini bijak dan pragmatis. Kamu menjaga value diri dan menghargai effort kamu sendiri, dan itu adalah Self-Care yang powerful banget.
Membangun Boundaries Yang Sehat Secara Low Profile
Salah satu hal paling positif dari Silent Quitting adalah dia menciptakan boundaries atau batasan yang sehat antara hidup dan kerja. Selama ini, boundaries itu nggak jelas. Email masuk jam 9 malam, kamu ngerasa wajib reply. Hari libur disuruh meeting mendadak, kamu nggak enak buat nolak.
Silent Quitting memaksa kamu buat mengambil kembali waktu yang seharusnya jadi milik kamu. Kamu menetapkan cut-off time yang tegas. Jam kerja selesai, laptop tutup. Nggak ada lagi checking email sambil scroll medsos atau mikirin project di akhir pekan. Ini adalah tindakan Self-Care yang paling low profile karena kamu nggak perlu drama resign atau debat sama atasan kamu. Kamu menegaskan batasan itu lewat tindakan, bukan lewat kata-kata heboh.
Kenapa ini penting? Karena kesehatan mental kamu jauh lebih mahal daripada image kamu sebagai employee yang super loyal. Dengan membuat batasan waktu ini, kamu mengurangi stress dan burnout, dan kamu memberi diri kamu space buat ngelakuin hal-hal yang benar-benar ngasih joy dan makna di hidup kamu (misalnya, ngejar side hustle dari hobi atau healing yang sejati). Self-Care nggak selalu harus meditasi di pantai. Self-Care bisa jadi berani bilang nggak pada email kerjaan di malam hari, dan Silent Quitting adalah cara paling efektif buat ngelakuin itu tanpa nimbulin keributan.
Redefining Loyalitas Dan Ambisi
Silent Quitting sering dituduh kurang loyal atau kurang ambisi. Tapi, di mata Gen Z, kita mendefinisikan ulang kedua kata ini. Loyalitas nggak lagi diartikan sebagai pengorbanan tanpa batas buat perusahaan. Loyalitas yang sehat adalah melakukan pekerjaan kamu dengan profesional dan berkualitas sesuai kontrak, sambil menjaga well-being kamu sendiri. Ketika perusahaan nggak loyal sama kamu (misalnya, ngasih gaji nggak naik tapi jobdesk nambah), kenapa kamu harus berkorban lebih?
Begitu juga dengan ambisi. Ambisi sejati nggak harus nampak dari seberapa sibuk kamu atau seberapa sering kamu stay di kantor. Ambisi sejati itu fokus pada growth diri sendiri dan membangun value kamu buat future kamu sendiri, bukan buat future perusahaan. Mungkin, Silent Quitting adalah strategi ambisius kamu buat menghemat energi yang terbuang buat overworking, dan mengalokasikan energi itu buat belajar skill baru atau membangun side hustle yang bener-bener ngasih return buat kehidupan finansial pribadi kamu.
Gue kasih contoh. Kamu bisa ngurangin effort ngurusin project nggak penting di kantor (Silent Quitting), dan memakai waktu ekstra itu buat belajar coding atau membangun portfolio freelance (Strategi Low Profile Ambisius). Ini nggak malas. Ini ambisius yang sangat smart dan terukur. Kamu berinvestasi pada diri sendiri, bukan pada perusahaan yang sewaktu-waktu bisa menggantikan kamu. Nggak ada yang perlu tahu apa yang kamu kerjain setelah jam 5 sore, dan itu adalah kekuatan low profile kamu.
Silent Quitting Sebagai Tool Pencegahan Burnout
Burnout itu real dan nggak bisa diabaikan (gue udah bahas juga kenapa dia nggak bisa disembuhin cuma dengan postingan healing). Silent Quitting itu adalah alat pencegahan Burnout yang paling efektif dan paling mudah diterapkan.
Burnout terjadi karena energi kamu terkuras habis dan kamu nggak punya space buat recharge. Dengan Silent Quitting, kamu secara paksa menciptakan space itu. Kamu memutus siklus overworking yang nggak sehat. Kamu mengizinkan diri kamu nggak sempurna dan mengizinkan diri kamu nggak selalu avail. Ini adalah tindakan self-compassion yang super penting.
Self-Care bukan selalu soal self-reward dengan barang mahal. Self-Care yang sejati adalah menjaga batas energi kamu, mendengarkan badan kamu saat dia bilang capek, dan berani ngambil istirahat tanpa rasa bersalah. Silent Quitting itu nggak ngajak kamu buat malas-malasan di jam kerja. Dia ngajak kamu buat bekerja secara profesional dan efisien di jam kerja, dan hidup secara penuh di luar jam kerja.
So, Silent Quitting: Malas atau Self-Care yang Sebenarnya? Jawabannya nggak hitam dan putih. Kalau kamu ngerjain jobdesc kamu dengan minimalis tapi berkualitas (yaitu nggak ngerusak output kerja kamu), dan kamu memakai sisa energi itu buat hidup kamu sendiri, maka Silent Quitting itu adalah strategi survival dan self-care yang sangat cerdas dan low profile di tengah culture kerja yang toxic. Kamu nggak dibayar buat stress dan burnout. Kamu dibayar buat ngerjain jobdesc. Be smart, be strategic, and protect your energy!
image source : Unsplash, Inc.