ardipedia.com – Coba deh lihat sekeliling. Anak-anak zaman sekarang itu lahir-lahir sudah langsung kenalan sama smartphone, tablet, dan segala jenis layar. Screen time itu jadi bagian hidup mereka, bahkan mungkin lebih dominan daripada kita dulu. Dunia mereka penuh warna, tapi sayangnya, interaksi utama mereka seringkali terjadi sama benda mati, yaitu layar. Nah, di tengah dominasi layar ini, muncul pertanyaan penting: gimana caranya kita bisa pastiin anak-anak kita tumbuh dengan empati yang kuat, nggak cuma kayak robot yang cuma bisa ngetik dan swipe?
Empati itu nggak bisa diajarkan lewat aplikasi atau tutorial online. Empati itu skill sosial yang butuh latihan, butuh interaksi face-to-face, butuh ngerasain emosi orang lain secara langsung. Kalau anak terlalu sering nempel sama layar, mereka kehilangan banyak kesempatan emas buat belajar skill ini. Mereka mungkin nggak bisa baca bahasa tubuh, nggak bisa ngerti nada suara, atau nggak bisa ngerasa sedihnya teman yang lagi nangis, karena semua itu nggak ada di layar. Kita sebagai orang tua Gen Z, yang juga nggak bisa lepas dari gadget, punya tanggung jawab ganda di sini. Kita harus sadar kalau kita lagi ngajarin skill manusiawi di tengah dunia yang makin terdigitalisasi.
Kenapa Empati Jadi Skill Paling Mahal di Era Digital
Di dunia online, semua serba cepat dan seringkali nggak ada filter. Kalau ada yang nggak suka, tinggal ngetik komentar pedas, terus swipe ke postingan berikutnya. Dampaknya ke orang lain seringkali nggak kita pikirin. Anak-anak yang tumbuh dengan kebiasaan instan dan nggak melihat konsekuensi dari kata-kata mereka di online, bisa jadi kesulitan buat mengembangkan empati di dunia nyata. Mereka nggak pernah ngerasa langsung sakitnya hati orang yang disakiti.
Empati itu nggak cuma soal ngerasa kasihan, lho. Empati itu kemampuan buat ngebayangin diri kita ada di posisi orang lain. Ini penting buat segala hal, mulai dari berteman, kerja tim nanti, sampai buat ngatasi konflik. Anak yang empatinya kuat cenderung lebih resilient dan lebih gampang diterima di lingkungan sosial. Kalau mereka cuma terbiasa sama interaksi satu arah dari layar, mereka bisa jadi nggak peka sama sinyal sosial. Mereka tumbuh dengan anggapan kalau dunia itu cuma berputar di sekitar mereka, kayak game yang mereka mainkan di mana mereka adalah hero-nya. Ini bahaya banget buat perkembangan karakter mereka.
Kesalahan Menganggap Layar Itu Pengasuh Otomatis
Banyak orang tua Gen Z yang nggak sadar melakukan kesalahan ini: ngasih gadget ke anak bukan sebagai alat, tapi sebagai pengasuh darurat. Maksudnya biar anak anteng dan nggak rewel saat kita lagi sibuk. Ini memang solusi praktis, tapi ini merampas kesempatan anak buat belajar empati dari interaksi langsung.
Empati itu nggak muncul tiba-tiba. Empati itu terbentuk dari pengalaman yang berulang. Misalnya, anak jatuh dan nangis, terus kita datang dan ngenalin emosi itu: "Kamu sedih ya karena jatuh? Sakit ya?" Saat kita ngasih validasi emosi dan ngajarin mereka ngasih bantuan ke teman yang kesulitan, saat itulah empati mereka tumbuh. Kalau setiap mereka frustrasi atau bete langsung dialihkan ke layar, proses belajar ini nggak akan terjadi. Layar itu nggak bisa ngajarin anak gimana rasanya berbagi mainan, gimana caranya ngomong maaf dengan tulus, atau gimana caranya menghibur teman yang lagi murung. Semua itu butuh sentuhan manusiawi yang nggak bisa digantikan oleh animasi paling canggih sekalipun.
Membangun Empati Dimulai dari Validasi Emosi Diri Sendiri
Sebelum kita bisa ngajarin anak buat ngerti perasaan orang lain, kita harus pastiin mereka ngerti dulu perasaan mereka sendiri. Ini adalah fondasi empati. Kesalahan yang sering terjadi adalah kita nggak sabar sama emosi negatif anak. Mereka nangis, kita buru-buru bilang, "Udah ah, nggak usah nangis, kan nggak sakit." Padahal, saat itu, kita lagi ngasih pesan kalau emosi mereka nggak penting.
Coba deh kita ubah caranya. Setiap kali anak ngerasa sesuatu—marah, sedih, frustrasi—kita harus akuin emosi itu. Misalnya, "Kamu marah ya karena mainannya direbut teman? Nggak apa-apa, marah itu wajar. Tapi, pukul itu nggak boleh." Dengan begitu, anak ngerti kalau emosi itu ada namanya, dan emosi itu nggak menakutkan. Saat mereka ngerti perasaannya sendiri, mereka akan lebih gampang ngebayangin perasaan orang lain.
Ini juga berlaku buat interaksi kita sehari-hari. Kita harus sering ngobrol sama anak tentang apa yang mereka rasain hari itu. Nggak cuma tanya "Gimana sekolahnya?" tapi coba tanya, "Kamu ngerasa apa hari ini? Ada yang bikin kamu sedih atau happy?" Komunikasi yang terbuka ini adalah latihan pertama empati. Kalau gue lagi main game dan frustrasi karena kalah, nggak mungkin gue bisa ngerasa senangnya lawan gue kalau gue nggak sadar dulu kalau gue lagi marah.
Menggunakan Cerita dan Permainan sebagai Jembatan Empati
Layar itu nggak semuanya jahat, kok. Tapi, kita harus pinter memilih dan menggunakannya. Salah satu cara buat ngajarin empati adalah dengan pakai cerita. Buku, film, atau bahkan video game yang mengandung cerita kuat tentang karakter yang punya masalah dan emosi berbeda-beda itu bisa jadi alat bantu yang keren.
Setelah anak nonton atau baca, kita nggak boleh diam aja. Kita harus aktif ajak mereka ngobrol. Misalnya, "Kenapa tokoh A nangis tadi? Kamu ngerasa apa kalau kamu jadi dia? Menurut kamu, teman tokoh A harus ngapain?" Pertanyaan-pertanyaan ini ngajak anak buat ngebayangkan dan menganalisis emosi orang lain. Ini adalah latihan mental buat empati.
Selain cerita, role play atau main pura-pura itu manjur banget. Ajak anak main seolah-olah jadi dokter dan pasien, atau guru dan murid. Dalam permainan itu, mereka harus mengganti peran, dan ini ngelatih mereka buat ngerti perspektif yang berbeda. Kalau gue main pura-pura jadi pasien yang sakit, anak gue harus ngebayangin gimana rasanya sakit dan gimana cara ngasih pertolongan. Ini adalah latihan empati yang fun dan nggak kaku.
Empati Digital: Mengajarkan Kebaikan di Dunia Maya
Anak-anak digital native nggak akan bisa lepas dari dunia online. Jadi, kita harus ngajarin mereka empati nggak cuma di dunia nyata, tapi juga di dunia maya, atau digital empathy. Mereka harus ngerti kalau orang di balik layar itu juga punya perasaan.
Kita harus ngajarin mereka tentang cyberbullying dan dampak buruknya. Kita bisa ngasih contoh nyata (tanpa mencemarkan nama baik orang lain) tentang bagaimana kata-kata pedas di online itu bisa bikin orang sakit hati. Kita harus ngajarin mereka buat selalu mikir sebelum ngetik: "Apakah kata-kata gue ini respectful? Apakah gue akan ngomong ini kalau gue ketemu dia langsung?"
Selain itu, ngajarin mereka buat jadi netizen yang positif itu penting. Misalnya, ngajarin mereka buat ngasih komentar yang mensupport, atau ngajarin mereka buat nggak gampang nge-share hoaks yang bisa merugikan orang lain. Kita harus jadi role model yang nunjukkin bagaimana teknologi bisa dipakai buat ngasih kebaikan, bukan cuma buat nyinyir atau nge-judge. Kita harus ngajarin mereka kalau like atau comment itu bukan segalanya, tapi kebaikan yang kita tebar itu yang nggak akan hilang.
Cara Menyeimbangkan Screen Time dengan Interaksi Nyata
Kita nggak bisa ngelarang screen time total, tapi kita bisa mengaturnya supaya nggak mendominasi. Kuncinya ada di keseimbangan dan kualitas.
Pertama, Bikin Batasan yang Jelas dan Konsisten. Tentukan waktu yang diperbolehkan, dan nggak boleh ada gadget di meja makan atau di kamar tidur sebelum tidur. Ini ngasih ruang buat interaksi face-to-face yang penting buat empati.
Kedua, Lakukan Co-Viewing dan Co-Playing. Jangan biarin anak nonton atau main sendiri. Ikutan mereka. Saat ikutan, kamu bisa ngasih komentar tentang emosi yang dilihat di layar. Misalnya, "Wah, dia sedih ya karena temannya nggak mau berbagi." Ini ngubah screen time dari aktivitas pasif jadi moment belajar empati yang aktif.
Ketiga, Prioritaskan Playdate dan Interaksi Sosial Langsung. Empati itu nggak bisa dipelajari dari buku, harus dipraktikkan. Sering-seringlah ajak anak main bareng teman-temannya. Di situlah mereka belajar ngantri, belajar berbagi, belajar negosiasi, dan belajar ngatasi konflik yang semuanya adalah bahan bakar buat empati. Kalau gue lagi main game sama teman, gue harus ngerti perasaan teman gue saat dia kalah, kalau nggak, pertemanan itu bisa bubar.
Orang Tua Wajib Jadi Role Model Empati
Semua tips di atas nggak akan ngefek kalau kita sendiri nggak jadi contoh yang baik. Anak itu nggak denger apa yang kita bilang, mereka ngeliat apa yang kita lakuin. Kalau kita nggak pernah dengerin dengan tulus saat anak lagi cerita, kalau kita gampang marah tanpa ngasih alasan yang jelas, atau kalau kita nyinyir sama tetangga, anak kita akan niruin itu.
Kita harus pastiin kalau kita hadir seutuhnya saat bersama anak. STOP scroll smartphone saat anak lagi ngobrol. Tunjukkin empati kamu ke pasangan, ke petugas layanan, ke tukang ojek online, dan ke semua orang. Dengan melihat kamu bersikap respectful dan peduli sama orang lain, anak akan otomatis belajar kalau empati itu adalah value yang penting. Kita harus sadar kalau kita lagi ngajarin mereka menjadi manusia, bukan robot.
Sebuah Pengingat Tentang Sisi Kemanusiaan
Tantangan di era screen time dominan ini memang besar, tapi bukan berarti kita harus pasrah. Mengajarkan empati itu adalah investasi paling berharga yang bisa kita kasih ke anak kita. Karena pada akhirnya, nggak peduli seberapa canggih teknologi berkembang, dunia ini akan selalu butuh orang-orang yang bisa ngerasa, bisa peduli, dan bisa berbagi kebaikan.
Mari kita ingat lagi, anak kita itu nggak butuh gadget terbaru, tapi mereka butuh koneksi yang tulus. Mereka butuh hadirnya kita buat nunjukin bagaimana rasanya menjadi manusia yang peduli dan ngerti orang lain. Dengan mengatur screen time dan memperbanyak interaksi yang penuh empati, kita bisa pastiin anak kita tumbuh nggak cuma pinter secara digital, tapi juga kaya secara emosional. Tugas kita adalah memastikan hati mereka nggak jadi dingin karena terlalu sering nempel sama layar yang dingin.
image source : Unsplash, Inc.