Toxic Trait Kantor: 5 Hal yang Bikin Gen Z Cabut

ardipedia.com – Rasanya baru kemarin kamu tanda tangan kontrak dengan senyum lebar dan semangat membara, membayangkan karier gemilang yang akan kamu bangun di perusahaan impian. Baju kerja baru sudah siap, laptop sudah menyala, dan niat untuk memberikan yang terbaik sudah terpasang penuh. Tapi, entah kenapa, perlahan semangat itu mulai terkikis. Bukan karena kamu malas, bukan karena kamu tidak kompeten, dan jelas bukan karena kamu tidak butuh uang. Ada sesuatu yang salah dengan atmosfer di sekitarmu, sesuatu yang tidak kasat mata tapi dampaknya begitu nyata menusuk ke mental. Kamu mulai merasa berat menyeret kaki ke kantor, atau sekadar membuka laptop di pagi hari rasanya seperti beban dunia ada di pundakmu.

Fenomena ini bukan hal baru, tapi belakangan ini semakin nyaring terdengar, terutama di kalangan pekerja muda. Banyak yang bilang kalau generasi sekarang itu terlalu lembek atau mudah menyerah, padahal kenyataannya tidak sesederhana itu. Kita hidup di era di mana kesadaran akan kesehatan mental dan kesejahteraan diri menjadi prioritas yang tidak bisa ditawar. Gen Z tidak lagi memandang pekerjaan semata-mata sebagai tempat mencari nafkah, melainkan sebagai bagian dari kehidupan yang harus berjalan beriringan dengan kebahagiaan pribadi. Ketika tempat kerja mulai terasa seperti medan perang batin, keputusan untuk angkat kaki alias resign menjadi opsi yang paling masuk akal demi menyelamatkan kewarasan.

Mari kita bicara jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik banyaknya surat pengunduran diri yang mendarat di meja HRD belakangan ini. Kita tidak sedang membicarakan gaji yang kurang, karena terkadang gaji besar pun tidak cukup untuk membayar harga dari kedamaian yang hilang. Kita sedang membicarakan racun-racun halus yang perlahan mematikan kreativitas dan semangat. Seringkali, perusahaan tidak menyadari bahwa kebiasaan lama yang mereka anggap wajar sebenarnya adalah red flag besar bagi talenta muda masa kini. Ini bukan soal manja, tapi soal standar menghargai manusia yang sudah berubah.

Micromanagement yang Bikin Gerah dan Hilang Kepercayaan

Hal pertama yang paling sering membuat gerah dan ingin segera lari adalah gaya kepemimpinan yang seolah-olah tidak percaya pada timnya sendiri. Bayangkan situasi di mana kamu sedang fokus mengerjakan tugas, lalu tiba-tiba notifikasi muncul menanyakan progres setiap setengah jam sekali. Bos yang menjelma menjadi pengawas super ketat atau yang sering kita kenal dengan istilah micromanagement adalah pembunuh kreativitas nomor satu. Bagi Gen Z yang tumbuh dengan kebebasan informasi dan kemandirian digital, diawasi layaknya anak kecil yang sedang belajar jalan adalah sebuah penghinaan intelektual. Rasanya seperti kemampuan kita diragukan, seolah-olah kita tidak punya tanggung jawab untuk menyelesaikan apa yang sudah menjadi kewajiban.

Gaya kerja micromanagement ini menciptakan suasana yang mencekam dan penuh kecurigaan. Kamu jadi bekerja bukan untuk menghasilkan karya terbaik, melainkan hanya untuk memuaskan ego atasan agar tidak kena tegur. Padahal, esensi dari bekerja adalah kolaborasi dan kepercayaan. Ketika atasan sibuk mengoreksi font tulisan di emailmu daripada memberikan visi strategis, di situlah kamu tahu ada yang salah. Generasi ini butuh ruang gerak. Kamu butuh diberi kepercayaan untuk mengeksekusi ide dengan caramu sendiri, asalkan tujuannya tercapai. Ketika ruang itu ditutup rapat oleh atasan yang ingin mengontrol setiap helai napas karyawannya, jangan heran kalau surat resign sudah diketik rapi di draft email.

Kondisi ini diperparah ketika atasan merasa bahwa cara dia bekerja adalah satu-satunya cara yang benar. Padahal, fleksibilitas adalah nama tengah dari generasi masa kini. Kita tahu ada banyak jalan menuju Roma, dan terkadang jalan pintas yang kita temukan lewat teknologi justru lebih efisien daripada cara konvensional yang sudah berdebu. Tapi, si penganut micromanagement tidak akan peduli. Baginya, proses harus sesuai dengan apa yang ada di kepalanya, tanpa memberi ruang bagi inovasi. Lama-kelamaan, kamu akan merasa seperti robot yang hanya diprogram untuk menuruti perintah, kehilangan jiwa dan rasa kepemilikan terhadap apa yang kamu kerjakan.

 

Terjebak Hustle Culture yang Gak Manusiawi

Kemudian ada lagi masalah budaya kerja yang menuntut dedikasi tanpa batas waktu, atau yang sering diagung-agungkan sebagai loyalitas. Masih banyak perusahaan yang merasa memiliki hak penuh atas waktu karyawannya selama 24 jam sehari. Budaya hustle culture yang toksik ini seringkali dibungkus dengan kalimat manis seperti mengejar target atau dedikasi tinggi. Padahal kenyataannya, ini adalah bentuk eksploitasi waktu istirahat yang seharusnya sakral. Gen Z sangat paham bahwa bekerja hanyalah salah satu aspek kehidupan, bukan keseluruhan dari kehidupan itu sendiri.

Sangat melelahkan ketika kamu sudah bersiap untuk tidur atau sedang menikmati waktu santai bersama teman di akhir pekan, tiba-tiba grup WhatsApp kantor berbunyi nyaring membahas pekerjaan yang sebenarnya bisa menunggu sampai Senin pagi. Batasan antara kehidupan pribadi dan profesional menjadi kabur, bahkan hilang sama sekali. Perusahaan yang tidak menghargai jam kerja dan menganggap wajar chat pekerjaan di jam 11 malam adalah tempat yang paling cepat membuat karyawan muda merasa burnout. Bagi kamu, membalas chat di luar jam kerja bukan tanda rajin, tapi tanda bahwa sistem manajemen di kantor tersebut berantakan.

Generasi ini melihat pekerjaan sebagai transaksi profesional. Saya memberikan waktu dan keahlian, kamu memberikan kompensasi. Ketika tuntutan melebihi kesepakatan tanpa ada kompensasi tambahan, itu namanya pelanggaran batas. Tidak ada lagi romantisasi lembur sampai pagi demi terlihat sibuk. Bagi Gen Z, pulang tepat waktu dan menyelesaikan pekerjaan secara efisien adalah tanda produktivitas yang sebenarnya. Jika kamu harus lembur setiap hari, berarti ada beban kerja yang tidak proporsional atau alur kerja yang tidak efektif. Kantor yang melanggengkan budaya kerja rodi seperti ini akan segera ditinggalkan oleh mereka yang sadar bahwa kesehatan fisik dan mental jauh lebih berharga daripada sekadar pujian atasan yang semu.

Lingkungan Penuh Drama dan Komunikasi Pasif Agresif

Selanjutnya, mari kita bahas tentang lingkungan yang penuh dengan drama dan komunikasi yang pasif-agresif. Tidak ada yang lebih melelahkan daripada harus menebak-nebak suasana hati atasan atau rekan kerja. Lingkungan kerja yang sehat dibangun di atas komunikasi yang jelas, transparan, dan jujur. Namun sayangnya, masih banyak kantor yang memelihara budaya saling sindir, ngomong di belakang, atau memberikan instruksi yang ambigu. Ketika kamu bertanya untuk meminta kejelasan, jawabannya malah berputar-putar atau bahkan disalahkan karena dianggap tidak peka.

Gen Z sangat menghargai keaslian dan keterbukaan. Jika ada masalah, lebih baik dibicarakan langsung di depan muka daripada harus mendengar desas-desus dari meja sebelah. Budaya silent treatment atau mendiamkan karyawan sebagai bentuk hukuman adalah perilaku kekanak-kanakan yang seharusnya tidak ada di dunia profesional. Hal ini menciptakan kecemasan yang tidak perlu. Kamu jadi takut melangkah, takut salah bicara, dan akhirnya memilih untuk diam dan menarik diri. Energi yang seharusnya dipakai untuk berkarya malah habis terkuras untuk menghadapi drama interpersonal yang tidak penting.

Masa Depan Karier yang Buram dan Mentok

Ketidakjelasan jenjang karier juga menjadi faktor pendorong yang kuat untuk cabut. Kamu masuk kerja dengan harapan bisa berkembang, belajar hal baru, dan naik ke level berikutnya. Tapi apa jadinya jika setelah satu atau dua tahun, kamu masih mengerjakan hal yang sama persis, tanpa ada tantangan baru, tanpa ada training, dan tanpa ada kejelasan kapan kamu bisa promosi? Perasaan stagnan ini adalah musuh besar bagi jiwa muda yang haus akan pertumbuhan. Gen Z tidak takut bekerja keras, asalkan mereka tahu ke mana arahnya.

Banyak perusahaan yang menjanjikan pertumbuhan karier di awal wawancara, tapi realitanya nol besar. Alasan klise seperti menunggu giliran atau kondisi perusahaan yang belum stabil sering dijadikan tameng untuk menahan laju karyawan. Padahal, bagi kamu, berhenti belajar berarti mati perlahan secara profesional. Kamu ingin tahu apa roadmap masa depanmu di sana. Jika perusahaan tidak bisa memberikan gambaran masa depan yang jelas atau gagal memfasilitasi keinginanmu untuk upskilling, wajar saja jika kamu mulai melirik ke tempat lain yang menawarkan ladang yang lebih subur untuk bertumbuh.

Lebih parah lagi jika perusahaan tersebut pelit ilmu. Senior yang merasa tersaingi oleh juniornya dan enggan berbagi pengetahuan menciptakan atmosfer kompetisi yang tidak sehat. Padahal, mentorship adalah salah satu hal yang paling dicari oleh pekerja muda. Kamu butuh sosok yang bisa membimbing, bukan sosok yang menganggapmu sebagai ancaman. Ketika kamu merasa tidak ada lagi yang bisa dipelajari di tempat itu, rasa bosan akan datang dengan cepat, dan kebosanan adalah pintu gerbang menuju resign.

Bentrok Prinsip dan Jebakan Budaya Kekeluargaan

Faktor terakhir yang sering luput dari perhatian para petinggi perusahaan namun sangat krusial bagi Gen Z adalah ketidakcocokan nilai atau value perusahaan dengan prinsip pribadi. Generasi ini tumbuh di era di mana isu sosial, lingkungan, dan kesetaraan menjadi topik sehari-hari. Mereka tidak bisa bekerja di tempat yang nilai-nilainya bertentangan dengan hati nurani mereka. Misalnya, perusahaan yang menggembar-gemborkan keberagaman di media sosial tapi praktiknya sangat diskriminatif di dalam kantor, atau perusahaan yang tidak peduli pada dampak lingkungan dari bisnis mereka.

Sikap performatif atau kepalsuan seperti ini sangat mudah tercium oleh Gen Z yang sangat jeli. Kamu ingin bekerja di tempat yang punya tujuan mulia, atau setidaknya tempat yang tidak merusak tatanan sosial dan lingkungan. Rasa bangga terhadap tempat kerja itu penting. Bagaimana kamu bisa bertahan jika setiap hari kamu merasa bersalah karena menjadi bagian dari sistem yang menurutmu tidak etis? Integritas adalah mata uang yang mahal. Ketika sebuah kantor memaksa karyawannya untuk melakukan hal-hal yang abu-abu atau melanggar prinsip demi keuntungan semata, loyalitas karyawan muda akan hilang dalam sekejap.

Selain itu, janji manis soal "kita adalah keluarga" seringkali menjadi jebakan toxic yang paling berbahaya. Frasa ini sering digunakan untuk memanipulasi karyawan agar mau berkorban lebih tanpa imbalan. Konsep keluarga di kantor seringkali bias; ketika perusahaan untung, itu milik pemilik, tapi ketika perusahaan rugi, karyawan diminta berkorban demi "keluarga". Gen Z lebih menyukai hubungan profesional yang sehat dan saling menguntungkan layaknya tim olahraga. Kita bekerja sama untuk menang, kita saling dukung, tapi kita tetap punya kehidupan masing-masing di luar lapangan. Memaksakan ikatan emosional yang berlebihan justru membuat batasan menjadi tidak jelas dan rawan manipulasi.

Saatnya Mengevaluasi Diri dan Melangkah Maju

Kelima hal di atas saling berkaitan dan seringkali terjadi bersamaan, menciptakan badai sempurna yang membuat siapa saja tidak betah. Perlu diingat, keputusan untuk pergi meninggalkan pekerjaan bukanlah keputusan yang diambil dalam semalam. Itu adalah akumulasi dari kekecewaan, kelelahan mental, dan perasaan tidak dihargai yang menumpuk hari demi hari. Gue membayangkan betapa beratnya harus bangun pagi setiap hari dengan perasaan cemas, bertanya-tanya drama apa lagi yang akan terjadi hari ini, atau omelan apa lagi yang akan didapat dari hal sepele.

Bagi kamu yang saat ini sedang merasakan tanda-tanda di atas, validasi perasaanmu itu penting. Jangan biarkan orang lain bilang bahwa kamu terlalu sensitif. Lingkungan kerja yang toxic memang nyata dan dampaknya bisa jangka panjang terhadap kepercayaan diri dan kesehatan mentalmu. Tidak ada pekerjaan yang sebanding dengan rusaknya mentalmu. Dunia kerja memang keras, tapi bukan berarti harus kejam dan tidak manusiawi. Memilih untuk pergi dari lingkungan yang merusak bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda keberanian untuk menghargai diri sendiri.

Di sisi lain, fenomena "cabut"-nya Gen Z ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi perusahaan-perusahaan yang masih nyaman dengan gaya manajemen kolot. Zaman sudah berubah, dan cara mengelola manusia pun harus berevolusi. Retensi karyawan tidak lagi bisa dibeli hanya dengan gaji bulanan atau fasilitas meja pingpong di kantor. Hal itu butuh pendekatan yang lebih humanis, yang memanusiakan manusia. Mendengarkan aspirasi, memberikan kepercayaan, menghargai waktu pribadi, dan menciptakan lingkungan yang inklusif adalah kunci untuk memenangkan hati talenta muda.

Jika kamu merasa terjebak, ingatlah bahwa kamu punya pilihan. Selalu ada tempat di luar sana yang bisa menghargai potensimu dengan lebih baik, tempat di mana kamu bisa berkarya dengan hati tenang tanpa takut dihakimi atau dieksploitasi. Persiapkan dirimu, perbarui portofoliomu, dan mulailah mencari peluang baru. Jangan biarkan ketakutan akan ketidakpastian menahanmu di tempat yang jelas-jelas menenggelamkanmu. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan di tempat yang membuatmu merasa kecil dan tidak berarti.

Perjalanan karier adalah maraton, bukan lari cepat. Kamu berhak untuk berlari di lintasan yang nyaman, dengan sepatu yang pas, dan dikelilingi oleh orang-orang yang menyemangati, bukan yang menjegal kakimu. Jadi, jika lima tanda di atas sudah kamu rasakan setiap hari, mungkin ini saatnya untuk mengevaluasi ulang apakah tempatmu sekarang masih layak untuk diperjuangkan atau sudah waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal. Dengarkan intuisimu, karena seringkali hati kecilmu sudah tahu jawabannya jauh sebelum otakmu berani mengakuinya. Jaga kesehatan mentalmu, karena itu aset terbesar yang kamu miliki untuk masa depan.

image source : Unsplash, Inc.

Gas komen di bawah! Santai aja, semua komentar bakal kita moderasi biar tetap asyik dan nyaman buat semua!

Lebih baru Lebih lama
ardipedia

نموذج الاتصال