Sembuhkan Daddy Issues pada Pria: Akhiri Siklus Trauma

ardipedia.com – Coba jujur, kamu pernah dengar istilah Daddy Issues? Istilah ini sering banget dilempar buat menggambarkan cewek yang tertarik sama cowok yang jauh lebih tua atau punya masalah keterikatan (attachment). Padahal, dampak dari hubungan yang gak sehat dengan ayah itu sama besarnya dan sering gak terlihat jelas pada pria atau cowok.

Gue yakin banyak cowok yang secara gak sadar membawa beban emosional ini. Bukan cuma berkaitan dengan ayah yang meninggalkan (absent father), tapi juga ayah yang hadir secara fisik tapi gak hadir secara emosional (emotionally unavailable), ayah yang terlalu kritis (hypercritical), atau ayah yang punya masalah sendiri (misalnya, kecanduan atau masalah kemarahan). Intinya, kurangnya koneksi emosional yang aman dan sehat saat kecil.

Artikel ini bukan buat menyalahkan ayah kamu. Gak sama sekali. Tujuan kita adalah mengenali bagaimana pola lama itu terbawa ke masa dewasa dan memberikan kamu jalan keluar buat memperbaikinya. Ini proses penyembuhan, bukan penghakiman. Ini tentang mengakhiri siklus trauma yang gak perlu kamu bawa ke masa depan.

Mengenali Bayangan Hubungan Ayah dan Anak

Kenapa hubungan dengan ayah itu penting banget buat pria? Secara psikologis, ayah sering jadi model pertama bagi anak pria tentang maskulinitas, cara berinteraksi dengan dunia luar, dan cara mengelola emosi. Kalau model ini bermasalah, pola respons kita sebagai pria dewasa jadi terdistorsi.

Bentuk umum dari dampak ini pada pria sering gak terlihat seperti yang dibayangkan. Dampak ini bisa muncul sebagai:

Perfeksionisme Beracun dan Kebutuhan Validasi Gak Berujung

Kalau ayah kamu terlalu kritis, selalu menuntut hasil sempurna, atau hanya memberikan pujian ketika kamu melakukan hal besar, kamu bisa tumbuh dengan kebutuhan validasi yang gak pernah terpenuhi. Kamu akan terjebak dalam siklus perfeksionisme yang beracun. Kamu selalu merasa gak cukup, selalu takut gagal, dan nilai diri kamu ditentukan oleh pencapaianmu. Kamu bukan lagi bekerja buat diri sendiri, tapi buat membuktikan sesuatu ke masa lalu.


Ini sering memicu prokrastinasi karena takut memulai sesuatu yang gak mungkin sempurna. Atau, sebaliknya, kamu jadi gila kerja (workaholic) hanya untuk menghindari perasaan gak berharga saat kamu sedang gak produktif. Kamu perlu memutus kaitan antara berharga dengan produktif. Berharga itu inherent, ada di dalam dirimu, gak perlu dipertanyakan lagi.

Represi Emosional dan Ketidakmampuan Merasakan

Ayah sering mengajarkan anak pria buat menekan emosi dengan frasa seperti: “Cowok gak boleh nangis” atau “Jangan cengeng.” Akibatnya, kamu sebagai pria dewasa jadi jauh dari perasaan kamu sendiri. Kamu gak tahu cara mengidentifikasi perasaan selain marah atau bahagia permukaan. Kamu kesulitan memahami nuansa perasaan seperti kecewa, sedih mendalam, atau bahkan kebahagiaan yang tulus. Ini bikin kamu sulit membangun hubungan intim yang dalam, karena kamu gak bisa membuka diri secara emosional.

Ketika emosi ditekan, emosi itu gak hilang. Emosi itu keluar dalam bentuk lain, seperti ledakan amarah yang gak terduga, kecemasan kronis, atau ketergantungan pada zat atau kebiasaan (seperti alkohol, game berlebihan, atau pornografi) sebagai cara buat mematikan perasaan yang gak nyaman.

Pola Hubungan Avoidant atau Clingy

Dampak ini paling terlihat di hubungan romantis. Kalau ayah kamu dulu sering pergi atau gak bisa diandalkan (avoidant attachment), kamu bisa tumbuh jadi pria yang menjauhi keintiman emosional. Kamu takut terlalu dekat, takut ditinggalkan, jadi kamu milih buat mundur duluan begitu hubungan mulai terasa serius. Kamu sering merasa sesak di dalam komitmen, padahal jauh di lubuk hati kamu mendambakan koneksi.

Sebaliknya, kamu juga bisa jadi terlalu melekat (anxious attachment), selalu butuh kepastian dan perhatian dari pasangan kamu, seolah-olah pasangan kamu harus mengisi kekosongan yang ayahmu tinggalkan. Kamu melihat pasangan sebagai sumber validasi utama dan selalu takut mereka akan meninggalkanmu.

Langkah Pertama Penyembuhan Akui Luka dan Beri Nama

Proses penyembuhan itu dimulai dengan pengakuan yang jujur. Kamu gak bisa menyembuhkan sesuatu yang kamu tolak keberadaannya.

Jujur dengan Emosi dan Luka Lama

Duduk diam dan coba refleksikan pola perilaku kamu. Gak perlu cari salah siapa. Cukup tanya:

Kenapa gue marah banget kalau pasangan gue gak balas pesan cepat? Apakah ini mirip rasanya dengan saat gue nungguin ayah dulu?

Kenapa gue gak pernah puas dengan pencapaian gue? Apakah ada suara ayah gue yang masih berbicara di kepala gue?

Proses ini bisa jadi berat dan menyakitkan. Tapi, mengenali dan memberi nama pada perasaan dan pola itu akan memberikan kamu kekuatan buat mengubahnya. Trauma yang gak bernama adalah trauma yang mengendalikan kamu. Trauma yang sudah kamu akui adalah trauma yang bisa kamu kendalikan.

Self-Compassion Kebaikan pada Diri Sendiri

Seringkali, pria yang punya luka masa kecil cenderung sangat keras dan kejam pada diri sendiri. Mereka mengulang kritik yang dulu mereka dengar dari ayah mereka. Stop siklus ini. Kamu gak bisa menyembuhkan diri sendiri dengan memperlakukan diri seburuk mungkin.

Coba ubah cara kamu bicara sama diri sendiri. Kalau kamu gagal, jangan bilang: “Dasar bodoh, sama kayak yang dibilang ayah dulu!” Ganti dengan: “Oke, gue gagal kali ini. Ini sakit, tapi gue manusia dan gue bisa belajar dari ini.” Perlakukan diri kamu seperti kamu memperlakukan teman terbaikmu yang sedang kesulitan. Ini adalah dasar dari self-healing. Kamu adalah orang pertama yang harus kamu cintai dan dukung.

Menciptakan Ayah Baru Self-Parenthood

Karena ayah kamu mungkin gak bisa memberikan apa yang kamu butuhkan saat kecil, tugas kamu sebagai pria dewasa adalah memberikan itu pada diri sendiri. Ini disebut Self-Parenthood atau menjadi orang tua bagi diri kamu sendiri.

Reparenting Emosi yang Tertekan

Kamu perlu mengizinkan diri kamu merasakan emosi yang dulu dilarang. Kalau kamu sedih, izinkan diri kamu merasa sedih. Kalau kamu kecewa, rasakan itu. Gak perlu langsung mencari solusi.

Gue pernah dengar ahli bilang: Emosi itu kayak anak kecil yang lagi marah. Dia cuma perlu dilihat dan divalidasi. Bukan disuruh diam. Ketika kamu merasa marah, coba bilang ke diri sendiri: “Gue lihat kamu marah. Gak apa-apa kamu marah. Gue di sini buat kamu.” Ini adalah kedewasaan emosional yang sebenarnya. Dengan memvalidasi emosi, kamu memberikan izin pada dirimu untuk merasa utuh, bukan terpecah-pecah.

Mencari Mentor Bukan Pengganti Ayah

Pria sering mencari sosok ayah di tempat lain: di bos di kantor, di pelatih, atau di tokoh spiritual. Ini wajar, tapi kamu harus hati-hati jangan sampai kamu memproyeksikan kebutuhan masa kecilmu ke orang dewasa lain.

Cari mentor atau role model yang sehat dan utuh. Mereka bisa mengajarkan kamu skill, memberikan inspirasi, atau menunjukkan bentuk maskulinitas yang positif (seperti empati, kerentanan, dan komunikasi yang terbuka). Tapi, ingat, mereka bukan ayah kamu. Mereka adalah teman perjalanan, bukan penyelamat kamu. Jangan bebankan ekspektasi penyembuhanmu pada mereka.

Bangun Harga Diri Berdasarkan Nilai Internal

Kalau dulu nilai kamu ditentukan oleh ayah kamu (pencapaian kamu), sekarang kamu harus menentukan nilai kamu sendiri. Bangun harga diri berdasarkan integritas dan karakter kamu—kejujuran, kebaikan, konsistensi, dan usaha kamu.

Gak peduli kamu sukses atau gagal di proyek, kamu tetap berharga karena kamu berani mencoba, karena kamu konsisten dengan nilai-nilai kamu. Ini adalah sumber keyakinan diri yang kokoh, gak tergantung pada validasi eksternal siapa pun. Kamu harus menjadi wasit yang paling adil bagi dirimu sendiri.

Mengubah Pola Hubungan Attachment yang Baru

Proses penyembuhan ini akan terlihat jelas dalam cara kamu berhubungan dengan pasangan dan teman-teman kamu.

Komunikasi Rentan Bukan Lemah

Ini mungkin yang paling sulit buat pria. Belajar buat terbuka dan rentan (vulnerable) dengan pasanganmu adalah kunci. Rentan bukan berarti lemah. Rentan itu adalah keberanian buat menunjukkan sisi diri kamu yang gak sempurna pada orang yang kamu percaya.

Coba mulai dengan ngomong soal perasaan kecil: “Gue ngerasa sedikit cemas soal kerjaan besok,” bukan langsung ke trauma masa lalu. Lama-lama, kamu akan merasa aman buat membagi perasaan yang lebih dalam. Ini akan mengubah pola avoidant atau anxious kamu menjadi Secure Attachment—hubungan yang didasari rasa aman, kepercayaan, dan saling menghormati otonomi masing-masing.

Memutus Siklus Ekspektasi

Sadari bahwa pasangan kamu bukan terapis kamu dan bukan orang tua kamu. Mereka gak bertanggung jawab buat menyembuhkan luka masa kecilmu. Ketika kamu merasa pasangan kamu gagal memenuhi kebutuhan emosional yang sangat besar, coba tanya: Apakah ini benar-benar kebutuhan dewasa gue, atau ini kebutuhan anak kecil di dalam diri gue yang belum terpenuhi?

Memisahkan eksperimentasi ini adalah tugas terbesar dalam penyembuhan Daddy Issues pada pria. Ini memungkinkan kamu mencintai pasangan kamu apa adanya, bukan karena apa yang kamu butuhkan dari mereka. Ini disebut cinta dewasa—cinta yang utuh tanpa syarat yang membebani.

Kapan Harus Cari Bantuan Profesional

Perlu diingat, perjalanan ini bisa panjang. Kalau kamu merasa pola ini sudah sangat mengganggu hidupmu, jangan ragu buat mencari bantuan profesional. Psikolog atau terapis bisa memberikan kamu alat dan ruang aman buat mengurai trauma ini. Gak ada rasa malu sama sekali dalam mencari bantuan. Justru, mengambil tanggung jawab untuk penyembuhan diri adalah tindakan paling berani yang bisa dilakukan seorang pria.

Mengakhiri siklus trauma ini bukan cuma buat diri kamu sendiri. Ini juga buat generasi berikutnya. Dengan menyembuhkan diri kamu, kamu memastikan bahwa luka lama ini tidak akan kamu turunkan ke anak-anak kamu kelak. Kamu sedang menciptakan sebuah warisan emosional yang baru dan sehat. Kamu sedang menjadi pria yang utuh dan bebas.

image source : Unsplash, Inc.

Gas komen di bawah! Santai aja, semua komentar bakal kita moderasi biar tetap asyik dan nyaman buat semua!

Lebih baru Lebih lama
ardipedia

نموذج الاتصال