Stop Konsumsi Media "Manosphere" Jika Tak Mau Marah-marah

ardipedia.com – Pernah nggak sih, kamu lagi scroll media sosial, terus tiba-tiba muncul konten yang isinya tuh bikin emosi kamu naik sampai ubun-ubun? Konten-konten yang kayaknya valid banget ngomongin tentang hubungan, peran gender, atau gimana "seharusnya" cowok itu bersikap. Kalau kamu sering ketemu konten macam ini, ada kemungkinan besar kamu lagi bersentuhan sama apa yang orang-orang sebut "Manosphere".

Nah, coba deh kamu pikirin sebentar. Setelah nonton atau baca konten dari manosphere, apa yang kamu rasain? Biasanya sih, bukan rasa damai atau senang, malah makin gerah, makin curiga sama orang-orang di sekitar, bahkan mungkin jadi gampang marah dan baperan sama hal-hal kecil. Kenapa bisa begitu? Karena kebanyakan konten dari manosphere ini, alih-alih memberikan solusi yang benar-benar membangun, malah menyajikan narasi yang penuh konflik, menyalahkan, dan sering banget bernada konfrontatif.

Artikel ini dibuat bukan buat nge-judge siapa-siapa, ya. Tapi, ini adalah ajakan friendly buat kita semua untuk melakukan check and balance terhadap apa yang kita konsumsi, apalagi di era informasi yang banjir banget kayak sekarang. Kita bakal bongkar tipis-tipis kenapa vibes dari media manosphere ini bisa jadi racun yang pelan-pelan bikin mental kamu ketarik ke jurang amarah. Jadi, stay tuned dan siapin pikiran terbuka kamu, ya!

Manosphere Apa Sih Itu

Coba bayangin sebuah komunitas online yang isinya tuh kayak kantong ajaib, tapi isinya cuma kritik, keluh kesah, dan pandangan yang super pesimis tentang hubungan, perempuan, dan masyarakat modern. Secara garis besar, manosphere adalah gabungan dari berbagai website, forum, channel YouTube, dan akun media sosial yang fokusnya membahas isu-isu pria, hubungan, dan peran gender, tapi dengan sudut pandang yang sangat spesifik dan sering kali ekstrem.

Di dalamnya, ada banyak banget sub-kelompok yang punya istilah keren-keren, tapi intinya sama: mereka merasa bahwa pria adalah korban dalam tatanan sosial saat ini. Ada yang ngomongin soal hak-hak pria, ada yang fokus ke strategi pick-up cewek (yang seringkali problematis), ada yang ngajarin gimana caranya "menguasai" dalam hubungan, sampai yang paling ekstrem adalah gerakan yang isinya anti-perempuan. Beberapa istilah yang sering muncul dan mungkin pernah kamu dengar itu kayak MGTOW (Men Going Their Own Way), PUA (Pick-Up Artists), Red Pill, dan Incels (Involuntary Celibates).

Awalnya mungkin kelihatan kayak tempat buat cowok-cowok buat sharing dan dapat dukungan. Tapi, lama-kelamaan, komunitas ini berubah jadi echo chamber, yaitu ruangan gema di mana semua orang di dalamnya cuma dengar apa yang mereka mau dengar, dan pandangan negatif itu terus menerus diperkuat sampai jadi kayak kebenaran mutlak. Inilah yang bahaya. Ketika kamu terus-terusan dengar narasi yang sama, pikiran kamu akan mulai menerimanya tanpa proses check and balance lagi.

Bagaimana Manosphere Menyulut Api Amarah Dalam Diri Kamu

Coba kita bedah satu-satu, kenapa konten-konten dari manosphere ini punya power buat bikin kamu jadi gampang emosi dan bad mood.

Pertama, Menciptakan Narasi Korban Permanen. Konten manosphere itu suka banget memainkan peran bahwa pria modern itu selalu jadi korban dari "sistem yang bias", "feminisme yang kebablasan", atau "perempuan yang toxic". Mereka bilang, semua masalah yang kamu hadapi, baik itu soal karier, dating, atau harga diri, itu bukan salah kamu, tapi salah faktor eksternal ini. Terdengar enak didengar, kan? Nah, justru di situlah jebakannya. Ketika kamu terus-terusan merasa jadi korban, kamu jadi enggan mengambil tanggung jawab atas hidup dan keputusan kamu sendiri. Akhirnya, kamu jadi gampang banget marah sama dunia, karena kamu percaya dunia ini yang jahat sama kamu. Amarah itu muncul dari rasa ketidakberdayaan yang disalahkan ke pihak luar.

Kedua, Memperkuat Toxic Masculinity. Mereka seringkali mendefinisikan "pria sejati" dengan standar yang kaku dan nggak realistis. Harus kuat, nggak boleh nangis, harus dominan, harus punya banyak uang, dan nggak boleh nunjukkin emosi yang dianggap "lemah". Standar ini tuh berat banget buat dijalanin. Ketika kamu nggak bisa mencapai standar absurd itu, kamu bakal frustrasi sama diri sendiri. Frustrasi ini, ketika nggak diolah dengan baik, akan berubah jadi amarah yang ditujukan ke diri sendiri atau orang lain. Mereka nggak ngajarin kamu buat jadi manusia yang utuh dengan segala emosinya, malah nyuruh kamu buat jadi robot.

Ketiga, Merusak Relasi Antar Gender. Manosphere ini sering banget menyebarkan pandangan yang sangat negatif dan generalisir tentang perempuan. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang materialistis, manipulatif, dan hanya tertarik sama power atau uang. Pandangan ini tuh nggak sehat banget dan nggak sesuai sama realita. Kalau kamu terus-terusan mengonsumsi konten kayak gini, kamu akan kehilangan kemampuan buat melihat orang lain, terutama perempuan, sebagai individu yang kompleks dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Trust issue kamu bakal naik, kamu jadi gampang curiga, defensif, dan penuh amarah saat berinteraksi. Hubungan apa pun, baik itu pertemanan, profesional, apalagi asmara, pasti bakal hancur kalau kamu bawa-bawa mindset ini.

Keempat, Membatasi Perspektif (Echo Chamber Effect). Seperti yang gue bilang di awal, manosphere ini tuh kayak ruangan gema. Kamu cuma akan dengar hal-hal yang mendukung rasa marah dan frustrasi kamu. Nggak ada ruang buat diskusi yang sehat, nggak ada ruang buat beda pendapat, dan nggak ada dorongan buat melihat isu dari sudut pandang lain. Konten yang kamu konsumsi jadi super monoton dan negatif. Otak kamu jadi terbiasa memproses informasi dengan cara yang sama: menyalahkan, mengkritik, dan marah. Vibes negatif ini akhirnya merembes ke seluruh aspek hidup kamu.

Gaya Hidup Low Profile Bukan Berarti Anti-Solusi

Kamu mungkin berpikir, "Terus kalau nggak dengerin mereka, gue harus dengerin siapa dong?" Ini bukan soal kamu harus join ke pihak mana pun. Ini soal kamu harus jadi diri kamu sendiri yang otentik dan bertanggung jawab. Gaya hidup low profile itu bukan cuma soal nggak pamer kekayaan, tapi juga low profile dalam artian nggak gampang teriak-teriak menyalahkan dunia atau nggak ngoyo buat memenuhi standar eksternal yang nggak jelas.

Coba deh turn off sebentar social media kamu dan lihat ke dalam diri. Kamu butuh solusi yang nyata, bukan sekadar pembenaran yang bikin kamu nyaman dalam kemarahan kamu.

1. Self-Reflection dan Tanggung Jawab Diri. Alih-alih menyalahkan mantan kamu, society, atau "sistem", coba deh duduk manis dan tanya ke diri sendiri: apa yang bisa gue ubah dari diri gue? Kalau ada masalah, ambil power kamu kembali dengan bilang, "Ini masalah gue, dan gue yang akan cari solusinya." Ini jauh lebih keren dan low profile daripada teriak-teriak soal jadi korban. Pria yang bertanggung jawab itu tenang dan fokus pada aksi, bukan pada keluhan.

2. Membangun Emosi yang Sehat. Konten manosphere bilang pria nggak boleh sedih. Stop dengerin itu! Pria punya emosi, sama kayak manusia lain. Belajar buat mengenali dan mengolah emosi kamu dengan cara yang sehat. Kalau kamu marah, cari tahu sumbernya, terus channeling ke hal yang positif, misalnya olahraga atau bikin karya. Marah yang sehat itu adalah marah yang memotivasi kamu untuk berubah, bukan marah yang bikin kamu merusak diri atau orang lain. Cari teman atau profesional yang bisa kamu ajak ngobrol deep talk soal inner issue kamu.

3. Pilih Role Model yang Tepat. Daripada terinspirasi sama influencer yang vibes-nya cuma nyinyir dan drama, coba deh cari orang-orang yang beneran sukses dalam arti yang lebih luas: sukses membangun keluarga, sukses jadi profesional yang berintegritas, atau sukses berkontribusi positif buat lingkungannya. Biasanya, orang-orang yang sukses beneran itu low profile dan nggak banyak bicara soal konspirasi atau menyalahkan gender tertentu. Mereka fokus pada aksi dan legacy.

4. Filter Konten Online. Ini yang paling penting. Jadilah netizen yang smart. Kalau ada konten yang vibes-nya langsung bikin kamu panas atau sebel, langsung skip atau mute. Feed kamu adalah cerminan dari pikiran kamu. Kalau feed kamu isinya sampah amarah, ya pikiran kamu juga bakal jadi tempat sampah amarah. Cari konten yang valid dan memberikan solusi praktis buat improve skill, kesehatan mental, atau pengetahuan umum.

  

Mengubah Amarah Menjadi Kekuatan Diri

Pada intinya, amarah itu adalah energi. Manosphere mengajarkan kamu buat menggunakan energi itu untuk menghancurkan (menyalahkan, mengkritik, badmouthing). Sementara itu, pola pikir yang dewasa dan sehat mengajarkan kamu buat menggunakan energi itu untuk membangun.

Bayangin gini: Kamu gue ibaratin punya mobil mewah dengan mesin yang super bertenaga (itu adalah amarah atau frustrasi kamu). Manosphere ngajarin kamu buat nginjak gas sekuat-kuatnya sambil ngebut di komplek perumahan, yang ada malah nabrak atau kena tilang. Sebaliknya, pola pikir yang sehat ngajarin kamu buat channeling tenaga mesin itu buat ikut balapan resmi di sirkuit, di mana tenaga itu diatur dan diarahkan untuk mencapai tujuan yang positif.

Mengambil keputusan buat stop mengonsumsi konten manosphere itu adalah langkah pertama dan paling berani yang bisa kamu ambil buat mengendalikan emosi kamu kembali. Kamu nggak perlu jadi pria yang keras, kaku, atau penuh permusuhan buat dihargai. Justru, pria yang paling dihargai adalah pria yang tenang, bertanggung jawab, dan punya power untuk mengendalikan dirinya sendiri.

Yuk, kita sama-sama bersihkan feed dan mindset kita dari vibes negatif yang cuma bikin kita jadi gampang emosi. Ganti konsumsi kamu dengan konten-konten yang membangun, mendidik, dan membuat kamu jadi pribadi yang lebih cool, tenang, dan pastinya low profile. Jadi, gimana? Siap buat ganti vibes hidup kamu sekarang juga?

Kalau kita bisa jadi versi terbaik dari diri kita sendiri, tanpa harus menyalahkan orang lain, bukankah itu jauh lebih keren? Itu baru real power.

image source : Unsplash, Inc.

Gas komen di bawah! Santai aja, semua komentar bakal kita moderasi biar tetap asyik dan nyaman buat semua!

Lebih baru Lebih lama
ardipedia

نموذج الاتصال