Audit Brand Voice: Mengapa Pesan Marketing Kamu Gagal Ngena di Gen Z

ardipedia.com – Coba deh lihat brand yang paling hype di kalangan Gen Z sekarang. Mereka nggak menjual produk dengan bahasa iklan yang glossy atau janji muluk-muluk. Mereka berbicara seperti teman yang sedang sharing tips, menggunakan slang yang relateable, dan nggak takut tampil vulnerable. Inilah kekuatan Brand Voice. Brand Voice adalah personality kamu di dunia digital. Kalau voice kamu nggak match dengan audience, nggak peduli sebagus apa produk kamu, pesan marketing kamu akan gagal total.

Gen Z adalah generasi yang paling cerdas dan skeptis terhadap iklan. Mereka tumbuh besar di tengah filter dan fake news, jadi mereka punya radar inauthenticity yang sensitif banget. Mereka benci brand yang pura-pura peduli, terlalu serius, atau mencoba ngikutin trend tanpa ngerti konteksnya. Cringe adalah hukuman instan yang bisa bikin brand kamu di-cancel dalam semalam.

Audit Brand Voice ini adalah sesi check-up jujur untuk melihat: Apakah brand kamu berbicara seperti owner yang stuck di tahun 2010, atau seperti bestie yang update di tahun ini? Kita akan bedah empat red flag utama yang membuat marketing kamu nggak nyambung dan tips praktis untuk mengubahnya.

Pilar 1 Tone Deaf vs Tone Right Kapan Harus Santai dan Serius

Salah satu kesalahan paling sering adalah brand nggak bisa membedakan kapan harus santai (tone ringan) dan kapan harus serius (tone informatif). Gen Z menghargai brand yang fun, tapi mereka juga menuntut brand untuk berintegritas saat membahas isu penting. Kalau kamu ngelawak saat launching produk yang harganya mahal, itu bisa jadi tone deaf.

Mengatur Skala Tone Kamu

Hindari Fake Woke: Jangan pernah mencoba ngikutin trend isu sosial (seperti sustainability atau mental health) hanya untuk exposure kalau nggak ada aksi nyata di operasional bisnis kamu. Gen Z akan research dan membongkar brand yang nggak jujur. Di saat kamu harus bicara soal value, tone kamu harus sangat firm, tulus, dan berbasis data/aksi nyata.

Playful Tone untuk Micro-Content: Gunakan tone yang random, humor yang relateable, dan slang yang sedang hype untuk content harian (behind the scenes, story interaksi, quick tips). Tujuannya adalah membangun koneksi personal dan membuat brand kamu terasa friendly.

Konsistensi Vibe: Brand voice kamu nggak boleh berubah drastis dari satu platform ke platform lain. Kalau voice kamu di TikTok adalah playful, nggak mungkin di email newsletter kamu jadi kaku seperti notaris. Cari core voice yang stabil, lalu sesuaikan tone (tingkat formalitasnya) berdasarkan platform atau topik.

Intinya, tone yang right adalah yang fleksibel tapi konsisten dengan value yang kamu yakini.


Pilar 2 Bahasa Marketing Kaku vs Bahasa Komunitas Relateable

Pesan marketing yang gagal ngena di Gen Z seringkali menggunakan istilah corporate yang nggak ada artinya (misalnya, "solusi inovatif terdepan," "menghadirkan layanan yang komprehensif," "sinergi ekosistem"). Gen Z nggak butuh bahasa report saham. Mereka butuh bahasa yang simple, langsung, dan relateable.

Mengubah Kata Jualan Menjadi Conversation

The Jargon Cleanse (Pembersihan Istilah Kaku): Lakukan audit pada semua copy website, iklan, dan social media kamu. Hapus semua istilah yang nggak kamu pakai saat ngobrol sama teman. Ganti "memberikan feedback" menjadi "kasih review," ganti "solusi" menjadi "cara ngatasin."

Memasukkan Slang Secara Cerdas: Nggak semua slang itu cringe. Slang yang nggak cringe adalah yang digunakan secara organik dan di niche yang tepat. Kalau brand kamu menjual thrifting outfit, menggunakan kata "spill" atau "worth it" itu relateable. Kalau kamu menjual software accounting, menggunakan kata slang berlebihan bisa jadi nggak cocok.

Focus on The Problem: Brand voice yang relateable membicarakan problem customer lebih sering daripada fitur produk. Contoh: Nggak perlu "Produk kami punya fitur auto-post." Tapi, "Capek ngabisin waktu nge-post di tiga platform beda? Waktunya kamu auto-post!" Ini langsung nyambung karena berbicara ke pain yang mereka rasakan.

Gue nggak bilang kamu harus jadi influencer TikTok. Tapi brand voice kamu harus terdengar seperti manusia yang ngerti struggle customer.

Pilar 3 Brand-Centric vs Community-Centric Siapa Hero-nya

Brand voice yang brand-centric selalu menempatkan dirinya sendiri sebagai hero. ("Kami adalah brand terbaik," "Produk kami yang paling inovatif"). Marketing ini sudah basi. Gen Z mencari brand yang menempatkan mereka (komunitas) sebagai hero utama.

Mengalihkan Spotlight ke Customer

Celebrate Users: Brand voice kamu harus secara konsisten merayakan dan menonjolkan pencapaian customer. Gunakan content user-generated (UGC) sebagai content premium kamu. Nggak perlu selalu post foto produk yang glossy. Post foto customer kamu yang happy menggunakan produk itu dan biarkan mereka yang bercerita.

Ask, Don't Tell: Ubah brand voice dari menyampaikan informasi menjadi mengajukan pertanyaan dan mengundang partisipasi. Gunakan voice yang mengundang feedback, polling, dan story dari customer. Ini membuat customer merasa bahwa opini mereka penting dan brand ini adalah milik bersama.

Vulnerability as Strength: Brand voice yang kuat itu nggak takut mengakui kesalahan atau kekurangan. Ketika bug terjadi, akui secara terbuka, jelaskan apa yang sedang diperbaiki, dan minta maaf secara tulus. Transparansi ini menghasilkan respect, yang jauh lebih berharga daripada attention semata.

Brand voice yang community-centric membuat customer merasa mereka adalah bagian dari gerakan, bukan sekadar target penjualan.

Pilar 4 Konsistensi Visual dan Verbal Matching Vibe

Seringkali, brand voice kamu di caption sudah friendly, tapi visual-nya masih kaku. Atau sebaliknya. Di Ekonomi Attention, kesatuan antara verbal (copywriting) dan visual (design) adalah kunci. Kalau vibe nggak match, customer akan bingung dan langsung skip.

Menjaga Alignment Look and Sound

Moodboard Voice: Buat moodboard nggak hanya untuk visual dan warna, tapi juga untuk kata-kata, tone, dan emotion yang kamu ingin sampaikan. Tentukan 3-5 kata sifat inti brand kamu (Contoh: playful, anti-ribet, authentic). Semua content dan visual harus reflect tiga kata itu.

No-Filter Vibe: Kalau voice kamu jujur dan relateable, visual kamu juga nggak boleh terlalu over-produced. Visual yang terlalu sempurna dan menggunakan stock photo yang nggak relateable bisa merusak trust yang sudah kamu bangun lewat copywriting yang friendly. Visual harus terlihat nyata, raw, dan low-profile.

Voice Guide untuk Semua Tim: Pastikan voice guide ini nggak cuma dipegang tim marketing. Customer service, founder, dan bahkan admin yang balas DM harus menggunakan voice yang sama. Nggak ada yang lebih membingungkan daripada brand yang di DM super friendly, tapi saat customer email CS, balasannya formal banget.

Alignment antara apa yang kamu katakan dan apa yang kamu tunjukkan adalah fondasi dari brand voice yang powerful dan ngena di Gen Z.

Melakukan Audit Brand Voice secara rutin itu wajib. Kamu nggak bisa stuck di vibe yang sama selamanya, karena bahasa dan trend terus bergerak. Brand voice yang sukses di Gen Z adalah yang berani jujur, konsisten humanis, dan selalu menempatkan customer sebagai sentral cerita. Jadikan brand voice kamu jembatan trust, bukan dinding yang memisahkan kamu dari audience.

image source : Unsplash, Inc.

Gas komen di bawah! Santai aja, semua komentar bakal kita moderasi biar tetap asyik dan nyaman buat semua!

Lebih baru Lebih lama
ardipedia

نموذج الاتصال