ardipedia.com – Kamu pasti pernah ngalamin ini. Sudah apply dengan effort maksimal, prepare buat interview sampai begadang, datang ke kantor dengan outfit paling proper, ngobrol panjang lebar sama user atau HRD, rasanya chemistry sudah dapet banget. Terus, ditunggu-tunggu hasilnya, eh, yang datang cuma sunyi senyap. Enggak ada email, enggak ada chat, bahkan enggak ada kabar burung. Kamu kena ghosting. Jangan baper dulu, bestie. Ini adalah fenomena yang sayangnya sudah jadi bagian dari recruitment process di tahun-tahun ini, dan kamu enggak sendirian.
Dulu, istilah ghosting itu nyangkutnya di dunia dating. Sekarang, istilah ini merambat ke dunia kerja, dan rasanya enggak kalah sakit. Ghosting dalam konteks interview adalah ketika perusahaan atau recruiter tiba-tiba berhenti merespons kamu setelah tahapan interview yang intens, tanpa memberikan pemberitahuan atau update apapun soal status lamaran kamu. Mereka ilang begitu saja, seolah kamu tidak pernah ada. Ini jelas enggak etis dan enggak profesional, tapi sebagai pencari kerja yang smart, kamu harus tahu cara mengelola emosi dan mengambil langkah terbaik.
Kenapa sih ini terjadi? Ada beberapa alasan kenapa perusahaan melakukan ghosting. Gue kasih bocorannya biar kamu enggak overthinking.
Terlalu Banyak Pelamar. Kadang, jumlah pelamar itu membludak banget, dan tim HRD atau recruiter overwhelmed. Mereka mungkin hanya fokus ngurusin kandidat yang lolos dan lupa (atau enggan) kasih kabar ke kandidat yang enggak lolos. Ini bukan pembenaran, ya, tapi ini adalah realita keterbatasan resource.
Proses Internal yang Berantakan. Perusahaan itu enggak selalu berjalan mulus. Ada aja perubahan budget, restrukturisasi tim, atau hiring freeze yang mendadak. Recruiter mungkin enggak bisa kasih update pasti karena mereka sendiri enggak tahu statusnya, jadi mereka milih diam.
Kurangnya Profesionalisme. Sayangnya, beberapa recruiter atau perusahaan memang kurang profesional dan tidak menganggap penting komunikasi dengan kandidat yang enggak lolos. Mereka berpikir, enggak kasih kabar sama aja dengan penolakan. Mindset kayak gini yang perlu kita hindari sebagai profesional.
Menghindari Konflik. Ada juga recruiter yang takut kalau kasih kabar penolakan, mereka harus berhadapan dengan pertanyaan follow-up yang ribet dari kandidat, jadi mereka milih jalur aman yaitu diam seribu bahasa.
Lalu, bagaimana seharusnya kamu merespons ghosting ini? Apakah kamu harus marah-marah di social media atau spam email mereka? No, jangan! Kamu harus tetap low profile dan keep it professional. Reaction kamu di saat seperti ini justru menunjukkan kualitas profesionalisme kamu yang sesungguhnya.
Follow-Up yang Tepat Sasaran
Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah menunggu dengan sabar, tapi tidak pasif. Kalau sudah lewat batas waktu yang mereka janjikan (misalnya 1-2 minggu), atau sudah lewat 10 hari kerja sejak interview terakhir, ini saatnya kamu mengirimkan follow-up email yang smart. Jangan langsung menuduh mereka ghosting, tapi tanyakan status lamaran kamu dengan sopan.
Tips untuk Email Follow-Up Pertama
Subjek yang Jelas: Buat subjek email yang to-the-point, misalnya: "Tindak Lanjut Aplikasi – [Nama Posisi] – [Nama Kamu]".
Sebutkan Detail: Ingatkan mereka tentang tanggal interview kamu dan siapa yang kamu temui (nama recruiter atau user). Ini membantu mereka mengingat kamu tanpa harus mencari data terlalu lama.
Tunjukkan Excitement Singkat: Ulangi interest kamu terhadap posisi itu secara singkat dan professional. Jangan lebay. Misalnya: "Saya tetap sangat antusias dengan kesempatan ini setelah berdiskusi mengenai [Sebutkan Topik Diskusi Penting] pada [Tanggal Interview]."
Pertanyaan To-The-Point: Akhiri dengan pertanyaan yang mudah dijawab, seperti: "Bolehkah saya meminta update mengenai jadwal atau tahapan selanjutnya dari proses recruitment ini?"
Setelah follow-up pertama ini, beri waktu 3-5 hari kerja. Kalau masih enggak ada respons, stop mengirim email.
Ketika Ghosting Sudah Jelas Terjadi
Jika follow-up pertama kamu enggak direspons, kemungkinan besar kamu memang di- ghosting. Di sini, kamu punya dua pilihan: move on total, atau kirim Balasan Terbaik yang super low profile tapi meninggalkan kesan.
Balasan Terbaik: The Closure Email
Balasan terbaik itu bukan email yang isinya marah-marah atau menyesali diri, tapi email yang menutup komunikasi secara profesional dan berkelas. Email ini kamu kirim setelah follow-up pertama tidak direspons (setelah total 1-2 minggu sejak follow-up pertama).
Tujuan Closure Email Tujuan email ini adalah:
Memberikan Closure: Kamu mengambil kendali atas situasi dengan mengumumkan bahwa kamu move on.
Meninggalkan Impression Positif: Kamu menunjukkan bahwa kamu profesional sampai akhir, yang mungkin berguna kalau kamu apply ke perusahaan itu lagi di masa depan.
Membuka Networking: Kamu memelihara hubungan baik dengan recruiter di luar status lamaran kamu.
Contoh Closure Email (Tone Profesional, Low Profile)
Subjek: Penarikan Diri dari Pertimbangan Posisi [Nama Posisi]
Yth. [Nama Recruiter/HRD yang kamu interview],
Saya harap email ini menemukan Anda dalam keadaan baik.
Saya menulis surat ini untuk menindaklanjuti proses wawancara terakhir yang saya lakukan pada [Tanggal Interview]. Karena saya belum menerima kabar lebih lanjut mengenai status aplikasi saya, saya berasumsi bahwa posisi ini mungkin sudah diisi oleh kandidat lain atau sedang dalam proses yang berbeda.
Oleh karena itu, saya memutuskan untuk menarik diri dari pertimbangan untuk posisi [Nama Posisi].
Meskipun demikian, saya ingin mengucapkan terima kasih atas waktu dan kesempatan yang telah Anda berikan untuk belajar lebih banyak mengenai [Nama Perusahaan] dan tim Anda. Pengalaman wawancara tersebut sangat berharga.
Saya berharap yang terbaik untuk tim Anda dalam pencarian kandidat yang tepat. Saya sangat menghargai networking dan semoga kita dapat berkolaborasi di masa depan dalam konteks yang berbeda.
Hormat saya,
[Nama Kamu] [Nomor Kontak Kamu]
Kenapa Email ini Adalah Balasan Terbaik?
Mengambil Kendali: Kamu yang menarik diri, bukan mereka yang menolak kamu. Ini boost self-esteem kamu dan menunjukkan bahwa kamu punya pilihan lain.
Menghilangkan Ekspektasi: Kamu secara halus mengakui kenyataan tanpa perlu bertanya lagi. Kamu move on dengan anggun.
Networking: Kalimat terakhir tentang networking menunjukkan bahwa kamu tidak memutus jembatan. Recruiter itu bisa saja pindah ke perusahaan lain, dan mereka akan ingat kamu sebagai kandidat yang berkelas dan low profile.
Profesionalisme Level Up: Email ini sangat profesional, to-the-point, dan enggak bikin drama. Ini mencerminkan integritas kamu, yang adalah aset terbesar dalam karier.
Move On dan Jaga Self-Worth
Ingat, ghosting itu lebih banyak berbicara tentang perusahaan atau recruiter itu sendiri daripada tentang skill atau value kamu. Jangan biarkan enggak adanya kabar itu menjatuhkan mental kamu. Kamu sudah berjuang dan effort kamu itu valid.
Apa yang Harus Kamu Lakukan Setelah Closure Email
Analisis Interview: Gunakan waktu ini buat review penampilan kamu saat interview. Apa yang bisa ditingkatkan? Bukan buat nyeselin diri, ya, tapi buat upgrade diri kamu untuk interview berikutnya.
Lanjutkan Pencarian: Switch fokus kamu 100% ke lamaran dan interview lain. Jangan buang energi buat nungguin yang enggak pasti. Keep moving.
Jaga Self-Care: Healing itu penting. Nonton film, dengerin musik, atau hang out sama teman-teman. Jaga mood kamu biar tetap on buat kesempatan yang lebih baik di depan.
Networking Terus!: Manfaatkan LinkedIn. Connect dengan orang-orang baru di industri yang kamu minati. Dunia kerja itu luas banget, dan kesempatan enggak cuma datang dari satu pintu saja.
Intinya, ghosting setelah interview adalah ujian kesabaran dan profesionalisme kamu. Balasan terbaik adalah action yang low profile, terukur, dan berakhir dengan kamu mengambil alih kendali atas nasib karier kamu sendiri. Kirim Closure Email itu bukan buat dapat balasan dari mereka, tapi buat kasih ketenangan ke diri kamu sendiri. Kamu berhak mendapatkan proses recruitment yang respectful, dan kalau sebuah perusahaan enggak bisa kasih itu, berarti mereka enggak pantas dapat skill keren kamu. Semangat terus, ya!
image source : Unsplash, Inc.