ardipedia.com – Coba deh kita lihat lagi, pandangan tentang ayah itu sekarang sudah berubah drastis dibanding generasi kakek-nenek kita. Dulu, peran ayah seringkali terbatas pada pencari nafkah, yang kerjanya cuma ngasih uang dan nggak banyak ikut campur urusan rumah tangga kayak ganti popok atau nyuapin anak. Tapi, di zaman kita sekarang, di mana kesetaraan itu penting banget, munculah sosok yang kita sebut Feminist Father. Ini bukan berarti ayah harus ikut demo atau teriak-teriak soal hak perempuan, lho. Feminist Father itu adalah ayah yang aware dan aktif ikutan ngurus anak, serta ambil alih tanggung jawab rumah secara adil bareng pasangannya, tanpa mikir tugas itu cuma buat ibu aja.
Peran ayah yang aktif ini nggak cuma bantu ngurangin beban pikiran dan fisik ibu, tapi juga ngasih dampak gede buat perkembangan anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak-anak belajar kalau sayang, kelembutan, dan tanggung jawab itu nggak ada gender-nya. Mereka ngelihat langsung gimana seharusnya tim yang kompak itu bekerja. Kalau gue nggak pernah ngelihat ayah gue ikut masak atau nyuci, gue akan mikir itu adalah kerjaan yang cuma buat perempuan. Dan itu adalah mindset yang perlu diubah.
Ayah yang Hadir Bukan Cuma Ikut Nonton
Perbedaan antara ayah yang terlibat (involved father) dan ayah yang hadir (present father) itu tipis tapi penting. Ayah yang terlibat mungkin cuma ikut main saat anak minta, atau ngurus anak pas ibu minta bantuan. Ayah yang hadir dan feminist itu beda. Mereka secara inisiatif ambil tanggung jawab ngasuh tanpa disuruh, nggak peduli apakah itu ganti popok di malam hari, nyiapin bekal sekolah, atau ngurusin urusan administrasi anak.
Kehadiran fisik dan emosional ayah yang setara ini ngasih rasa aman dan bikin rumah jadi seimbang. Anak nggak cuma dapet kasih sayang dari satu orang, tapi dari kedua orang tua secara utuh. Ketika ayah ikut ambil bagian dalam perawatan sehari-hari, bonding antara ayah dan anak jauh lebih erat dan bermakna. Bukan cuma jadi teman main di akhir pekan, tapi jadi tempat nyari nyaman dan tempat curhat setiap saat.
Menghancurkan Toxic Masculinity Sejak Dini
Salah satu peran paling penting dari Ayah Feminist adalah ngikis habis konsep toxic masculinity atau maskulinitas beracun dari pikiran anak-anak mereka. Toxic masculinity ini adalah pandangan jadul yang bilang laki-laki harus selalu kuat, nggak boleh nangis, nggak boleh nunjukkin kelembutan, dan harus selalu menang sendiri.
Ayah feminist justru ngajarin hal sebaliknya kepada anak laki-laki:
Emosi Itu Wajar: Ayah nggak ragu nunjukkin emosi mereka dengan sehat. Kalau lagi sedih, ya bilang sedih. Kalau lagi bete, ya bilang bete. Ini ngajarin anak laki-laki bahwa perasaan itu nggak ada gender-nya dan mereka nggak perlu mendem emosi mereka.
Kelembutan Itu Kekuatan: Ayah aktif dalam peran ngasuh yang butuh sabar dan lembut, seperti ngebacain dongeng, meluk saat anak jatuh, atau masak. Ini ngubah pandangan bahwa kelembutan itu kelemahan.
Tanggung Jawab Itu Setara: Anak laki-laki ngelihat ayahnya nyuci piring, bersihin kamar mandi, dan ikut ngerencanain keuangan rumah. Ini ngajarin mereka bahwa hidup berdua itu kerja sama tim 50:50.
Dengan begitu, anak laki-laki tumbuh dengan pemahaman bahwa mereka bisa menjadi laki-laki yang sehat emosional, penuh kasih sayang, dan tetap bertanggung jawab tanpa harus kelihatan kaku atau sok berkuasa.
Dampak Positif Ayah Feminist Pada Anak Perempuan
Bukan cuma anak laki-laki, kehadiran Ayah Feminist juga punya dampak super positif buat anak perempuan. Anak perempuan melihat ayahnya sebagai pria yang menghargai perempuan sebagai rekan yang setara, bukan sebagai bawahan atau orang yang harus diatur.
Hubungan Sehat dengan Pria: Anak perempuan belajar apa artinya dihormati oleh pria. Mereka akan punya standar tinggi dalam milih pasangan di masa depan karena mereka sudah melihat contoh nyata tentang kerja sama tim yang saling respek dan support di rumah. Mereka nggak akan tolerir hubungan yang ngerendahin.
Self-Worth yang Kuat: Karena ayah berinteraksi dengan ibu secara setara dan penuh hormat, anak perempuan belajar bahwa suara dan keputusan perempuan itu penting. Ini ngebangun rasa harga diri (self-worth) yang kokoh dan bikin mereka lebih berani ngejar mimpi mereka di bidang apapun, tanpa ngerasa dibatasi cuma karena gender.
Ayah Mendukung Kepentingan Mereka: Ayah feminist nggak akan ngebatasi minat anak perempuan cuma pada hal-hal yang dianggap cewek banget. Misalnya, ayah bisa ikut support anak perempuan yang tertarik pada sains, olahraga keras, atau politik. Ayah menjadi sumber support buat semua pilihan hidup mereka.
Pembagian Tugas yang Adil Bukan Sekadar Bantuan
Ayah feminist nggak menganggap ikut ngurus rumah tangga sebagai bantuan ke pasangan, tapi sebagai tanggung jawab bersama yang adil dalam hubungan. Ini adalah pergeseran mindset yang penting banget.
Kalau gue lagi ngerjain tugas kelompok, gue nggak mikir kontribusi gue itu sebagai bantuan ke teman sekelompok, tapi sebagai bagian dari kewajiban gue supaya tugasnya kelar. Sama halnya dengan ngurus rumah tangga dan anak.
Pembagian tugas yang adil ini nggak selalu harus 50:50 secara kaku, tapi harus adil berdasarkan beban pikiran (mental load) dan waktu yang dimiliki masing-masing pasangan. Ayah feminist juga aktif dalam ambil tanggung jawab manajerial rumah tangga—misalnya, inget jadwal vaksin, ngerencanain menu makan, atau beli kebutuhan bulanan. Ini adalah tugas yang seringkali tersembunyi dan sering dibebankan cuma kepada ibu, padahal ini nguras energi banget.
Ayah Sebagai Role Model Komunikasi dan Kerentanan
Ayah feminist nggak cuma berperan dalam tugas fisik, tapi juga dalam ngajarin komunikasi yang sehat dan berani terbuka (vulnerability).
Komunikasi Terbuka: Ayah nunjukkin ke anak gimana caranya nyelesaiin masalah sama pasangan secara tenang, saling dengerin, dan saling hargai pendapat yang beda. Anak belajar bahwa berantem itu bisa diatasi tanpa bentakan atau sikap sok berkuasa.
Mengakui Kesalahan: Ayah nggak malu buat minta maaf ke pasangan atau ke anak saat melakukan kesalahan. Tindakan ini ngajarin anak bahwa orang dewasa pun bisa salah, dan yang penting adalah ambil tanggung jawab atas kesalahan itu. Ini adalah salah satu kunci penting dalam ngebangun karakter yang kuat.
Berani Vulnerable: Ketika ayah berani ngomongin ketakutan, kekhawatiran, atau rasa sedihnya sama anak dan pasangan, itu ngasih izin ke anak laki-laki buat merasa sensitif dan ke anak perempuan buat percaya pada kelembutan pria.
Pentingnya Self-Reflection Bagi Ayah
Menjadi Feminist Father nggak terjadi otomatis. Ayah perlu melakukan self-reflection rutin tentang gimana pola ngasuh yang dia terima dulu mempengaruhi perilakunya sekarang. Seringkali, kita tanpa sadar ngulang pola lama yang mikir kerjaan rumah sebagai tugas tambahan, bukan tugas utama.
Ayah perlu ngecek dan ngebongkar bias gender yang mungkin masih nempel di pikiran mereka. Misalnya, apakah ayah cenderung muji anak laki-laki berupa kekuatan dan keberanian, sementara ke anak perempuan berupa kecantikan dan kepatuhan? Self-awareness ini penting buat mastiin kita ngasih pesan kesetaraan yang utuh ke anak.
Peran Ayah Feminist bukan sekadar tren, tapi sebuah perubahan value yang penting banget buat bikin generasi anak yang lebih sehat mental dan lebih siap hidup dalam masyarakat yang setara. Ayah nggak cuma ngewarisin harta atau nama, tapi ngewarisin contoh nyata tentang kerja sama tim yang sehat, rasa hormat, dan sayang yang tidak bersyarat.
Kehadiran dan keterlibatan aktif ayah dalam setiap aspek ngasuh adalah hadiah terbaik yang bisa diberikan kepada anak dan pasangan. Ini adalah bukti bahwa cinta sejati itu berbagi beban dan berbagi kebahagiaan, tanpa ada istilah tugas perempuan dan tugas laki-laki. Mari kita dorong para ayah buat lebih berani nunjukkin kelembutan dan tanggung jawab mereka secara penuh.
image source : Unsplash, Inc.