ardipedia.com – Coba deh kamu bayangin, kamu ketemu partner bisnis yang klik banget, idenya brilliant, dan visi-nya sejalan. Semua terasa indah di awal, semuanya serba chill dan santai. Kalian deal cuma pakai obrolan di coffee shop atau chat di WhatsApp. Rasanya kayak, “Ah, kita kan teman, masa sih mau nipu?” Nah, stop di sini. Di dunia bisnis, good intentions aja nggak cukup. Meskipun kamu deal sama sahabat sendiri atau orang yang kamu percaya banget, perjanjian bisnis tertulis itu adalah shield atau perisai kamu dari drama dan sakit hati di masa depan.
Perjanjian bisnis itu bukan cuma dokumen formal yang tebal dan membosankan, tapi itu adalah roadmap atau peta jalan yang menjelaskan peraturan main kalian berdua. Ketika semuanya berjalan lancar, perjanjian ini mungkin cuma jadi penghias lemari. Tapi, pas muncul masalah kecil—misalnya, deadline molor, duit cash flow macet, atau salah satu pihak mau resign—dokumen inilah yang akan menyelamatkan hubungan dan aset kamu. Tanpa perjanjian yang jelas, potensi perselisihan itu gede banget. Dan percaya deh, nggak ada yang lebih nggak enak daripada harus berantem soal duit atau kewajiban sama orang yang tadinya kamu anggap partner terbaik.
Gue mau break down buat kamu, apa aja sih 5 poin paling basic dan wajib banget ada di perjanjian bisnis kamu biar kamu aman dan tidur nyenyak. Ini nggak cuma berlaku buat startup gede, tapi juga buat freelancer, brand kecil, atau join venture sederhana.
1. Deskripsi Tugas dan Tanggung Jawab yang Sejelas-Jelasnya
Ini adalah poin yang paling sering dianggap remeh, tapi paling sering jadi pemicu perselisihan. Di awal, semua orang biasanya excited dan bilang, “Gampanglah, kita kerjain bareng-bareng aja!” Tapi, seiring waktu berjalan, kalau nggak ada garis batas yang jelas, salah satu pihak bisa ngerasa effort-nya lebih besar dari yang lain. Muncul deh rasa nggak adil dan iri.
Coba deh kamu bayangin, kalau kamu join sama partner buat bikin brand pakaian. Di awal, kamu bilang kamu yang urusan marketing dan dia urusan produksi. Kedengarannya simpel. Tapi, detail-nya gimana?
Apakah yang dimaksud marketing cuma posting di Instagram, atau termasuk ngurusin ads, endorsement, sampai public relation?
Apakah yang dimaksud produksi cuma nyari supplier bahan, atau termasuk QC (Quality Control), packaging, sampai shipping?
Perjanjian kamu harus mendefinisikan secara spesifik: Siapa melakukan apa, dengan output seperti apa, dan dalam timeline kapan. Misalnya: “Pihak A bertanggung jawab atas management media sosial dan diwajibkan posting minimal 3 konten feed per minggu.” Atau, “Pihak B bertanggung jawab atas supply chain dan harus menyediakan laporan stok mingguan setiap hari Senin.”
Kejelasan ini nggak cuma mencegah konflik, tapi juga membuat semua orang jadi lebih fokus dan tahu apa yang diharapkan dari mereka. Sumber hukum bisnis seringkali menegaskan bahwa vagueness atau ketidakjelasan dalam tanggung jawab adalah root cause dari banyak masalah hukum. Jadi, lebih baik ribet di awal dengan bikin list tugas yang detail daripada berantem di tengah jalan.
2. Alokasi Keuntungan dan Kerugian yang Adil
Oke, ini adalah bagian paling sensitif: duit. Perjanjian yang baik harus fix nentuin gimana cara kalian bagi-bagi hasil kalau bisnis untung, dan gimana cara nanggung kerugian kalau bisnis lagi apes.
Presentase Kepemilikan dan Pembagian Profit: Kalian harus sepakat, profit dibagi berdasarkan apa? Biasanya, ini dibagi sesuai presentase kepemilikan atau kontribusi modal awal. Misalnya, kamu investasi 60% modal dan partner kamu 40%, maka pembagian profit-nya juga harus 60:40. Jangan sampai pembagian profit ini cuma berdasarkan ‘rasa-rasanya’ atau ‘kayaknya gue kerja lebih keras’.
Kalau kontribusinya bukan cuma modal (misalnya, kamu bawa skill dan partner kamu bawa uang), kamu harus sepakati value dari skill itu dan convert ke presentase kepemilikan di awal.
Mekanisme Penarikan Dana (Drawing): Kapan dan bagaimana profit ini boleh ditarik? Apakah setiap bulan, setiap kuartal, atau setiap akhir tahun? Apakah penarikan harus disepakati oleh semua pihak? Misalnya, kalian sepakat bahwa 30% profit akan diinvestasikan kembali ke bisnis, dan 70% sisanya baru boleh dibagi. Aturan main penarikan dana ini penting banget buat menjaga cash flow bisnis biar nggak boncos gara-gara ownernya narik duit terus.
Penanganan Kerugian: Kalau bisnis rugi, siapa yang nanggung? Seberapa besar tanggungannya? Biasanya kerugian juga ditanggung sesuai presentase kepemilikan. Dengan adanya aturan ini, semua pihak jadi lebih hati-hati dalam mengambil risiko bisnis.
3. Kebijakan Keluar dan Masuk Partner
Nggak ada yang tahu masa depan. Bisa aja partner kamu tiba-tiba dapat opportunity pindah ke luar negeri, atau dia udah nggak passionate lagi sama bisnis ini, atau yang paling parah, dia mau cabut dan bikin bisnis serupa. Ini disebut sebagai mekanisme exit. Perjanjian kamu wajib banget punya pasal yang ngatur hal ini.
Prosedur Buyout: Kalau salah satu partner mau keluar, gimana cara partner yang lain bisa membeli saham atau porsi kepemilikan partner yang resign? Harus ada formula yang jelas buat menentukan value dari bisnis itu (misalnya, berdasarkan rata-rata profit 3 tahun terakhir atau penilaian aset). Formula ini harus disepakati dari awal, saat kamu dan partner kamu masih akur. Karena kalau nentuin harga pas lagi mau berantem, dijamin susah banget!
Klausul Non-Compete: Ini penting banget buat melindungi bisnis kamu. Klausul non-compete intinya adalah larangan buat partner yang keluar buat bikin bisnis yang sama atau jadi pesaing langsung dalam jangka waktu tertentu (misalnya, 2 tahun) dan di area geografis tertentu. Ini mencegah partner yang keluar ngebawa semua know-how dan customer list kamu.
Prosedur Pemecatan (Expulsion): Kedengarannya serem, tapi ini perlu. Kapan seorang partner bisa dipecat atau dikeluarkan dari bisnis? Misalnya, kalau dia terbukti melakukan penipuan, pencurian aset, atau melanggar perjanjian non-disclosure yang udah disepakati. Prosedur ini harus jelas dan disepakati oleh semua pihak.
4. Kepemilikan Intelektual dan Aset Bisnis
Di dunia brand dan digital, aset bisnis itu nggak cuma soal mesin atau stok barang, tapi juga aset intelektual (Intellectual Property). Ini termasuk brand name, logo, tagline, website code, database customer, resep rahasia (kalau ada), dan copyright atas semua konten.
Siapa Pemilik Resmi?: Perjanjian harus fix nentuin siapa yang secara hukum memiliki aset-aset ini. Kalau bisnis kamu punya badan hukum (misalnya PT atau CV), idealnya semua aset intelektual itu dimiliki oleh entitas bisnis tersebut. Ini mencegah salah satu partner ngaku-ngaku logo itu buatan dia terus dibawa pergi pas resign.
Kontribusi Kreatif: Kalau ada partner yang secara spesifik ngembangin aset intelektual itu (misalnya programmer yang bikin apps atau designer yang bikin logo), harus ada klausul yang menyatakan bahwa developer tersebut menyerahkan semua hak kepemilikan atas code atau desain itu kepada bisnis. Ini namanya Assignment of IP.
Data Customer: Siapa yang punya akses ke database customer? Gimana cara data itu dilindungi? Perjanjian harus punya klausul tentang kerahasiaan data (Confidentiality). Ini menunjukkan bahwa bisnis kamu serius ngurusin privasi dan aset informasi.
5. Mekanisme Penyelesaian Perselisihan
Meskipun kamu udah bikin perjanjian yang super lengkap dan detail, potensi perselisihan itu selalu ada. Nggak ada manusia yang sempurna. Oleh karena itu, perjanjian yang baik harus menyediakan jalan keluar yang jelas dan nggak bikin budget kamu habis buat perang di pengadilan.
Negosiasi dan Mediasi Dulu: Tentukan bahwa sebelum bawa masalah ke pengadilan, kalian wajib banget coba negosiasi langsung dulu. Kalau nggak ketemu jalan keluar, wajib coba mediasi (minta bantuan pihak ketiga yang netral, misalnya mediator profesional) buat nyelesain masalah. Mediasi ini biasanya jauh lebih murah, cepat, dan low profile dibandingkan proses hukum.
Pilihan Forum Hukum (Jurisdiction): Kalau mediasi gagal total, baru deh masalahnya diangkat ke jalur hukum. Tentukan di awal, pengadilan mana yang berhak ngurusin perselisihan ini (misalnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan). Ini penting banget buat kejelasan hukum.
Biaya Hukum: Siapa yang nanggung biaya hukum kalau sampai terjadi gugatan? Biasanya, pihak yang kalah yang nanggung. Dengan adanya aturan ini, semua pihak jadi mikir dua kali sebelum main-main bawa masalah ke ranah hukum.
Intinya, perjanjian bisnis yang komplit itu adalah bentuk self-care buat brand kamu. Ini adalah peace of mind yang memungkinkan kamu fokus buat ngembangin bisnis, tanpa harus was-was soal drama di belakang layar. Ingat, perjanjian yang baik dibuat bukan karena kamu nggak percaya sama partner kamu, tapi justru karena kamu menghargai effort dan time yang kalian berdua udah invest di bisnis ini. Jadi, jangan skip proses ini!
image source : Unsplash, Inc.