Memutus Siklus: Kenapa Inner Child Orang Tua Harus Healing Dulu

ardipedia.com – Sering nggak sih kamu ngerasa lagi ngadepin situasi sama anak, terus reaksi kamu berlebihan atau nggak sesuai sama masalahnya? Misalnya, anak kamu tumpahin susu, terus kamu langsung panik atau marah banget, padahal biasanya kamu santai aja. Reaksi yang nggak terduga itu, nggak jarang, bukan datang dari kamu yang dewasa sekarang, tapi dari bagian dirimu yang terluka di masa lalu, alias inner child. Ini nggak cuma soal self-healing buat diri sendiri, tapi ini krusial banget buat parenting yang sehat.

Inner child itu adalah representasi dari pengalaman, emosi, dan kebutuhan kita saat masih kecil, yang tersimpan di alam bawah sadar. Kalau inner child kita pernah nggak terpenuhi kebutuhannya—misalnya nggak didengar, nggak divalidasi, atau sering dikritik—luka itu nggak hilang, dia cuma tertidur. Nah, saat kita jadi orang tua, anak kita secara nggak sengaja sering memicu luka lama itu. Siklusnya begini: luka kita muncul, kita bereaksi dari luka itu, dan reaksi kita itu bisa jadi luka baru buat anak kita. Makanya, sebelum ngurus anak, inner child kita harus healing dulu.

Kenapa Luka Masa Lalu Bisa Pindah ke Anak

Ini nggak ada kaitannya sama ramalan atau karma, ya. Ini soal psikologi. Saat inner child kita nggak beres, kita cenderung mengadopsi pola parenting yang kita terima dulu, meskipun kita nggak suka pola itu. Misalnya, kamu dulu sering dihukum kalau nangis, jadi tanpa sadar kamu jadi nggak sabar saat anak kamu nangis kejer. Atau, kamu dulu nggak pernah dikasih pilihan, jadi sekarang kamu jadi terlalu mengontrol semua keputusan anak.

Pola ini disebut trauma repetition atau pengulangan trauma. Kita nggak niat buat nyakitin anak, tapi kita nggak tahu cara lain buat ngerespons. Emosi kita gampang tersulut karena anak kita mengingatkan kita pada diri kita yang lemah dan terluka saat kecil. Kalau gue lagi punya aplikasi yang bug-nya nggak pernah diberesin, setiap gue pakai aplikasi itu, bug-nya akan muncul lagi, kan? Inner child itu kayak bug di sistem parenting kita, harus diberesin dari akar-nya.

Reaksi Berlebihan Itu Kode Keras dari Inner Child

Coba deh kamu perhatikan tiga jenis reaksi yang sering jadi kode dari inner child yang nggak healing:

1 Over-Reaksi Terhadap Kebutuhan Anak

Ini terjadi saat kamu ngerasa sangat kewalahan atau marah saat anak ngasih tanda butuh perhatian atau kasih sayang yang intens. Misalnya, anak minta ditemani main saat kamu lagi capek. Bukannya ngasih respons tenang, kamu malah meledak atau ngasih silent treatment. Reaksi ini sering datang dari inner child kamu yang dulu nggak pernah dikasih perhatian saat butuh. Jadi, kamu ngerasa nggak adil kalau sekarang harus ngasih yang nggak pernah kamu terima.

2 Terlalu Memanjakan Sampai Batasan Hilang

Ini kebalikannya. Kamu ngasih semua yang anak minta, nggak pernah bisa bilang nggak, bahkan sampai ngorbanin kebutuhan diri sendiri. Ini sering datang dari inner child yang dulu ngerasa nggak cukup dicintai atau nggak cukup dikasih apa-apa. Kamu ngasih semua itu ke anak bukan buat anak, tapi buat nge-healing diri kamu sendiri dengan ngelihat anak bahagia karena ngedapetin yang nggak kamu dapetin. Padahal, ini nggak ngajarin anak tentang batasan dan nggak membuat mereka tahan banting.

3 Mengambil Peran Korban atau Martir

Kamu sering ngomong kalimat kayak, "Mama nggak tidur demi kamu," atau "Papa capek demi kalian semua." Ini ngasih beban emosional yang berat ke anak, bikin mereka ngerasa bersalah atau bertanggung jawab atas kebahagiaan kamu. Ini sering datang dari inner child yang nggak dihargai pengorbanannya atau nggak dikasih kesempatan buat ngomong tentang perasaan mereka sendiri. Kamu butuh pengakuan dari anak atas luka kamu, dan ini nggak sehat.

Healing Itu Nggak Harus Drama atau Ribet

Proses healing inner child itu nggak harus masuk rumah sakit jiwa atau drama yang berat. Itu bisa dimulai dari hal-hal kecil yang konsisten. Intinya cuma satu: Kenali, Akui, dan Penuhi Kebutuhan Inner Child Kamu Sendiri.

1 Self-Awareness Sebagai Langkah Awal

Kapan pun kamu ngerasa reaksi kamu berlebihan di depan anak, stop sebentar. Tarik napas. Tanya ke diri sendiri: Emosi ini datang dari mana? Apakah ini marah karena anak bandel, atau ini marah karena luka lama gue korek lagi? Kesadaran ini penting banget. Kamu harus pinter misahin emosi sekarang dari emosi masa lalu.

2 Validasi Inner Child Kamu

Coba ngomong sama inner child kamu (bisa di dalam hati atau di buku harian). Akuin rasa sakitnya. Bilang, "Iya, kamu dulu sedih banget waktu nggak didengar sama Mama/Papa. Itu nggak adil, dan perasaan kamu valid." Dengan memberikan validasi yang nggak pernah kamu terima dulu, kamu ngasih rasa aman ke inner child kamu.

3 Penuhi Kebutuhan yang Hilang

Pikirkan, apa yang dulu kamu butuhin tapi nggak dapet? Apakah itu waktu buat main? Pujian? Ruang buat marah? Sekarang, sebagai orang dewasa, kamu bisa ngasih itu ke diri sendiri. Kalau inner child kamu butuh main, alokasiin waktu buat hobi yang kamu suka tanpa ngerasa bersalah. Kalau butuh pujian, puji diri kamu sendiri atas hal-hal kecil yang kamu capai hari itu. Ini ngisi tangki emosional kamu yang kosong.

Memutus Siklus Berarti Mengajarkan Regulasi Emosi

Saat kita healing, nggak cuma luka kita yang sembuh, tapi cara kita merespons anak juga berubah. Kita belajar ngatur emosi kita. Ini penting banget karena anak belajar mengatur emosi mereka dari cara kita mengatur emosi kita.

Kalau kamu terbiasa meledak saat marah karena inner child kamu nggak terkendali, anak kamu akan niruin itu. Tapi, kalau kamu berhenti sebentar, ambil napas, dan ngomong dengan tenang, "Mama lagi marah banget sekarang, Mama butuh waktu 5 menit di kamar," kamu lagi ngajarin anak tentang skill self-regulation yang nggak ternilai harganya. Kamu ngasih contoh bahwa marah itu wajar, tapi cara mengatasinya harus sehat.

Dengan memutus siklus ini, kamu nggak memindahkan luka kamu ke anak. Anak kamu nggak perlu ngerasa bersalah atas emosi kamu, dan mereka nggak perlu mengulangi pola parenting yang merugikan di masa depan. Kita ngajarin mereka parenting yang sehat bukan dari kata-kata, tapi dari tindakan kita merespons diri kita sendiri.

Komunikasi Yang Berubah Setelah Inner Child Ditolong

Inner child yang healing akan mengubah cara kamu ngomong sama anak. Komunikasi kamu akan jadi lebih empati dan nggak menghakimi.

Dari Menghakimi ke Validasi: Stop ngomong, "Kenapa sih nangis cuma karena es krim jatuh, cengeng banget!" Ganti dengan, "Iya, Mama ngerti kamu sedih banget karena es krim kamu jatuh. Sedih itu wajar." Kamu ngasih validasi yang mungkin nggak pernah kamu terima dulu, dan ini ngajarin anak tentang self-compassion.

Dari Mengontrol ke Otonomi: Stop ngomong, "Kamu harus pilih yang ini, Mama bilang bagus ya bagus!" Ganti dengan, "Menurut kamu, mana yang terbaik? Mama percaya kamu bisa membuat keputusan sendiri." Kamu ngasih ruang buat anak buat mengembangkan otonomi mereka, yang nggak kamu dapetin saat kamu kecil.

 

Dari Mengabaikan ke Hadir: Stop ngomong, "Nanti ya, Mama sibuk!" Ganti dengan, "Mama butuh waktu 10 menit buat nyelesaiin ini, setelah itu Mama milik kamu sepenuhnya." Kamu ngajarin mereka tentang respect terhadap batasan dan janji yang ditepati, nggak cuma dikasih alasan nggak jelas.

Kenapa Healing Itu Proyek Jangka Panjang

Healing inner child itu nggak kayak sekali klik terus langsung beres. Ini adalah perjalanan yang memakan waktu, dan nggak ada garis finish yang jelas. Akan selalu ada trigger atau pemicu yang nggak terduga muncul. Yang penting adalah konsistensi kamu buat sadar dan memilih merespons dengan sehat, bukan bereaksi dari luka lama.

Kita harus ngasih izin ke diri kita buat nggak sempurna. Nggak masalah kalau sesekali kamu kelepasan dan bereaksi berlebihan. Yang penting, setelah itu, kamu akui kesalahan itu. Minta maaf ke anak dengan tulus dan jelas: "Mama minta maaf ya tadi kebanyakan marah. Itu nggak adil buat kamu. Mama lagi belajar mengatur emosi Mama." Tindakan minta maaf ini nggak melemahkan otoritas kamu, justru ngajarin anak tentang tanggung jawab dan humanity yang jujur.

  

Pada akhirnya, inner child yang healing itu nggak cuma nguntungin kamu, tapi ngasih dampak besar buat atmosfer rumah. Rumah akan terasa lebih tenang, aman, dan penuh cinta karena kamu nggak membawa ketegangan dan luka masa lalu ke interaksi saat ini.

Kita sebagai Gen Z punya kesempatan besar buat memutus siklus trauma parenting yang mungkin sudah terjadi turun-temurun. Kita nggak harus mengulangi kesalahan orang tua kita. Kita bisa memilih buat ngasih anak kita parenting yang penuh kesadaran, empati, dan validasi. Healing itu bukan pilihan, tapi kewajiban kalau kita mau anak kita tumbuh sehat mental dan emosional. Jadi, yuk, kita mulai sayang sama inner child kita, biar kita bisa sayang sama anak kita dengan utuh.

image source : Unsplash, Inc.

Gas komen di bawah! Santai aja, semua komentar bakal kita moderasi biar tetap asyik dan nyaman buat semua!

Lebih baru Lebih lama
ardipedia

نموذج الاتصال